Langsung ke konten utama

Santri Untuk Peradaban Dunia


Woks

Pesantren Tempat Menempa Diri

Jika ditanya jualan apa yang laku di pasaran pasti jawabanya adalah jual sesuatu yang sifatnya kekinian. Sesuatu itu dibutuhkan di era saat ini yaitu dengan corak modernitas. Lalu yang sudah lama agak sedikit terenyahkan. Yang lama itu bukan barang yang sudah tidak terpakai akan tetapi hanya kalah dengan merk, brand atau gaya marketing jika soal kualitas berani di adu.

Begitulah santri dan pondok pesantren sebenarnya ia adalah lembaga antik dan unik. Ia bertahan di segala zaman bahkan hingga hari ini. Semakin berjalannya waktu pesantren bertransformasi tidak hanya mempertahankan gaya salafnya tapi juga menggandeng kemajuan zaman dengan corak dan basis teknologi yang tak kalah dari pendidikan formal. Saya tidak terlalu memusingkan jika pesantren disebut berubah, yang jelas pesantren masih tidak melupakan gaya khasnya seperti pengajaran kitab kuning, lalaran, nadzoman, syawir, roan, ziarah, tahlil, sholawat, bandongan, talaqqi, dan lainya.

Unsur-unsur pesantren pun tidak boleh dilupakan yaitu adanya pesastrian (tempat bermukim santri), kitab kuning, kiai dan santri itu sendiri. Lembaga ini sebenarnya komplek sekaligus memberi warna dan pengajaran yang utuh. Akan tetapi karena terlalu lama distigmakan kuno maka pesantren tidak terkesan menjual hingga saat ini. Walaupun demikian optimisme pesantren akan terus mengalir apalagi dengan ditetapkannya tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Sebuah momentum seremonial dan amal yang tidak ada di dunia manapun.

Seharusnya pesantren sebagai lembaga holistik yang membina santri secara intelektual ruhaniyah sudah sepatutnya bisa tampil dan diterima masyarakat. Lembaga ini sebenarnya mampu bersaing dengan lembaga yang menawarkan metode modern itu. Di sinilah peran kita bersama dalam merawat pesantren sebagai warisan pendidikan yang khas Nusantara.

Ulama Pendidik Sejati

Kita tahu jaringan ulama baik dari Timur Tengah maupun semenanjung Afrika telah banyak berinteraksi menjadi guru ulama Nusantara. Mereka ada yang datang ke Nusantara sebagai pedagang ataupun ulama Nusantara yang berguru langsung ketika di Mekah atau saat berhaji.

Peran ulama tersebut sangatlah penting dalam membangun peradaban, keilmuan dan peta dakwah. Mereka telah menancapkan semangat keilmuan dan akhlak dari Rasulullah sehingga Islam tersiar hingga ke pelosok negeri. Bahwa ulama adalah pewaris para Nabi memang benar adanya. Cara dakwah yang santun menjadikan banyak orang penasaran dengan Islam. Tidak hanya itu metode dakwah yang luwes seperti yang dibawa wali songo dengan pendekatan seni tradisi telah menjawab semua. Saat ini terutama Islam di Nusantara hidup dengan corak yang khas.

Mereka memang ulama sejati yang membimbing umat dengan penuh kasih. Guru-guru tasawuf, fiqh dan disiplin ilmu lainya telah berhasil memadukan antara tradisi budaya yang dijiwai oleh Islam sebagai agama dan sumber inspirasinya. Hal itu bisa kita pelajari dengan kekayaan melalui sumber teks ataupun tradisi yang berkembang sejak lama. Sumber-sumber pemikiran dan keilmuan masih terus lestari hingga saat ini karena terus dikaji diberbagai pondok pesantren.

Santri Berdaya Untuk Bangsa

Sudah yang ke-5 kita memperingati Hari Santri lalu PR apa yang belum kita capai hingga saat ini. Tentu jawabanya perlu diurai dengan melihat tantangan ke depan dalam dunia global ini. Salah satu hal yang perlu diperhatikan santri dan dunia pesantren adalah soal ekonomi dan keilmuan.

Saat Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) masuk ke Indonesia peran santri menjadi ganda terutama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di masa mendatang. Santri selalu dianggap tidak mampu bersaing dengan dunia luar. Memang sejak awal santri dipersiapkan hanya untuk belajar tidak ada yang lain. Namun seiring berjalannya waktu santri dipersiapkan untuk menjawab tantangan zaman. Kita tahu saat ini out put menjadi santri bisa menjadi apa saja. Kita bisa melihat alumni pesantren bisa menjadi mentri, ilmuan, akademisi, teknokrat, bahkan presiden.

Mengsingkronisasikan kemampuan saat di pesantren dan skill untuk menghadapi dunia luar amatlah penting. Sehingga kemampuan tersebut diharapkan menjadi kompetensi santri untuk beradaptasi dengan perubahan. Harapanya ilmu tersebut bisa bermanfaat, keilmuan dan praksis sangat diperhatikan dalam proyeksi santri yang mampu berdaya saing.

Amin Mudzakir peneliti LIPI mengutip, Intelektual besar seperti Kuntowijoyo (1987), menyatakan bahwa santri selalu beredar di antara masjid dan pasar. Hal ini menandakan bahwa pesantren mengajarkan penguatan dua sisi antara ekonomi dan keilmuan (pen). Hal itu senada dengan apa yang diterangkan dalam Ta'lim Muta'alim Syeikh Zarnuji bahwa menimba ilmu itu butuh biaya (bulghatin). Termasuk Mbah Moen juga berpesan kepada santri agar jangan terpaku dengan satu pekerjaan, jika mampu ada satu usaha lain agar hidup kita tenang atau tidak terlalu terusik dengan masalah ekonomi.

Kemampuan santri untuk mandiri merupakan tantangan tersendiri bagi pengelola pesantren. Hal itulah yang menjadi harapan orang tua untuk lebih percaya kepada pesantren sebagai lembaga yang komplit. Perlu diingat pesantren tidak hanya seperti mayoritas orang mengatakan seperti bengkel yang hanya menservis santri nakal. Akan tetapi lebih dari itu di mana santri dan pesantren hadir untuk pengembangan dakwah Islam, mendidik adab, menggali khazanah keilmuan dan merawat tradisi. Semoga di hari santri ini kita masih terus diberi kekuatan untuk merangkai cita-cita dan melukiskan asa. Sampai kapanpun kita adalah santri.

Selamat Hari Santri 2020, Santri Sehat Negara Kuat.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde