Langsung ke konten utama

Membuka Tabir Kebahagiaan ala Prof Joko Subagiyo

                     (Foto: doc penulis)

Woks

Semua orang hidup pasti mendambakan kebahagiaan. Entah dalam hal apapun yang jelas kebahagiaan selalu dipersepsi dengan sesuatu yang materiil. Padahal bahagia bersifat luas dan bisa apa saja macamnya. Termasuk apa yang akan kita bahas tentang bahagia versi Prof Joko sebagai narasumber pada acara Majelis Dzikir al Azhaar (Majlaz). 

Menurut Prof Joko kebahagiaan bukan selalu terkonotasikan dengan harta akan tetapi lebih dari itu. Bagi beliau pangkal kebahagiaan adalah terletak pada sikap. Sebab tanpa sikap mental yang baik orang sekaya apapun akan mudah menghabiskan hartanya dalam sekejap. Tapi dengan sikap yang berkarakter harta tersebut justru malah menjelma bantuan yang bermanfaat bagi orang lain.

Kebermanfaatan adalah satu dari sekian kebahagiaan yang seharusnya kita ukir. Ibarat teori gelombang yang riaknya selalu di samping dan penyebabnya karena batu yang dilemparkan. Hal itu menggambarkan bahwa hal baik atau buruk akan dikenang orang, ia berakhir sampai kapan tidak tahu, pastinya sampai ujung usia. Maka dari itu hidup ini adalah memilih. Jika tujuan hidup ingin bahagia mengapa tidak mengikuti rumus yang sudah tertera lewat agama.

عِشْ مَا شِــئْتَ فَإِنَّـكَ مَـيِّتٌ وَأَحْبِبْ مَنْ أَحْبَبْتَ فَإِنَّكَ مُفَارِقُهُ وَاعْـمَلْ مَـا شِئْتَ فَإِنَّـكَ لاَقِـيْـهِ 
"Hiduplah sesukamu karena sungguh engkau pasti mati. Cintailah siapa pun yang engkau suka karena sungguh kalian pasti berpisah. Berbuatlah sesukamu karena sungguh engkau pasti menemui (balasan) perbuatanmu itu.” [HR al-Baihaqi]

Sesuai pesan dalam hadits tersebut hidup adalah pilihan, tapi kita sekaligus diingatkan bahwa semua akan ada batasnya. Semua akan ada ujung dari masa berakhirnya proses hidup. Jadi masalah bagaimana peliknya ia akan berakhir dan akan menuju masalah lainya. Kata Umar bin Khattab hidup hanya berjalan menuju takdir dan lari dari takdir lainya.

Prof Joko menjelaskan bahwa hidup ini seperti diilustrasikan dalam sebuah buku kehidupan yang terdiri dari cover cerminan tanggal lahir, halaman isi cerminan dari catatan apa yang kita lakukan dan cover akhir yaitu cerminan tanggal kematian. Lengkaplah buku tersebut untuk kita pelajari terutama tentang ilmu dari cover (buaian) hingga cover belakang (liang lahat). Maka dari itu khusus mereka yang berilmu jangan sampai ilmu itu hanya terkurung dalam sangkar. Jadikanlah ilmu itu seharusnya terbang menyinari sekelilingnya yang gelap. Dengan ilmu itu seperti dalam konsep dakwah yaitu berfungsi sebagai cara men-touch orang lain agar terus berjuang dalam kebaikan. Inilah salah satu kunci perubahan dengan revolusi mental untuk menciptakan building other yang kokoh.

Secara personal sebenarnya kebahagiaan kita bisa diraih dengan berbagai pilihan di antaranya apakah kita ingin sukses pribadi tapi gagal sebagai pemimpin atau
sukses pemimpin tapi gagal secara pribadi
atau gagal sebagai pribadi dan pemimpin, serta pilihan akhir yaitu sukses sebagai pribadi dan pemimpin. Tentu kita bisa meneroka pilihan mana yang kita lampahi. Toh pada akhirnya kembali apa visi misi kita hidup di dunia ini.

Karena hidup di dunia ini keras maka dilawanlah dengan kelembutan, jangan malah sebaliknya. Sebab jika untuk memecahkan batu dengan pukulan tangan niscaya tak akan pecah tapi lihat tetesan air hujan, ia mampu menembus kerasnya batu walau dengan waktu yang lama. Sama halnya jika ingin perubahan sesuatu yang kecil maka rubahlah sikap kita. Jika ingin perubahan besar maka rubahlah paradigma kita, begitu teori Stephen Covey berbunyi.

Lalu bagaimana cara kita berbahagia. Ini adalah resep yang telah diracik oleh Prof Joko hasil dari ekstraksi para tokoh baik dari Barat dan Timur. Bahwa kita adalah apa yang biasa kita lakukan. Artinya lakukan semampunya dan dengan senang hati. Hal itu dilakukan sebelumnya dengan membersihkan hati, ingat kebaikan orang lain, lupakan kebaikan diri sendiri, ingat kekurangan diri sendiri, terbarkanlah ilmu ssbagai ladang amal dan meraba hati orang dengan pesan yang bijak.

Hidup juga harus cerdas, menghadirkan qolbu, memiliki rasa hormat, paham, pengharapan, malu, trampil dan ikhlas, selalu siap dalam kondisi apapun, ridha, sederhana, selalu evaluasi diri, komunikatif, dan berserah hanya kepada Allah. Bentuk penyerahakan itulah yang menjadikan tipe manusia bermacam-macam ada yang interdepen yaitu, mereka yang selalu butuh dan membutuhkan orang lain, independen, mereka yang selalu mampu sendiri, dan dependen mereka yang selalu butuh orang lain (terikat/bergantung). Penyerahan itu menjadikan tawakal lalu berdoa memohon hanya kepada Nya. Mari kita ikuti kata hati untuk terus bersikap dengan penuh karakter apalagi bagi kita seorang pendidik. Menjiwai segala laku lampah adalah keharusan sebab ia adalah hakikat cermin kehidupan. Apakah anda siap bahagia?

the woks institute l 26.10.20

.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde