Langsung ke konten utama

Catatan Majlaz Bersama Gus Makmun Ploso





Woks

Majlaz edisi kali ini (19/9/21) sangat penting untuk disimak karena kita kedatangan tamu dari Ploso yaitu Gus Makmun. Beliau KH. Muhammad Makmun merupakan salah satu pengasuh Pondok Ploso yang legendaris itu. Walaupun kehadiran beliau sangat singkat akan tetapi banyak sekali ilmu yang disampaikan di antaranya:

Kita harus terus bersyukur atas nikmat dari Allah swt. Kata beliau alhamdulillah adalah hal terkecil dari bersyukur. Salah satu media untuk selalu bersyukur adalah dengan menunaikan ibadah shalat. Keuntungan orang-orang yang shalat yaitu: akan dilapangkan permasalahannya, dijauhkan dari siksa kubur, mendapat catatan amal dari sebelah kanan, berjalan di sirath bagai kilat, dan masuk surga tanpa hisab.

Lanjut beliau setidaknya ada 4 hal yang perlu disyukuri di antaranya: karena kita diberi akal, karena telah ditetapkan sebagai orang beragama Islam, memiliki harta dan anak yang sholeh. Berkaitan dengan hati pula beliau berpesan untuk sebisa mungkin me-manage nya dengan baik karena jika tidak akan ada 4 hal yang berbahaya bagi hati di antaranya: bisa dengki, sering suudzon, selalu tamak dan sering berghibah. Inilah pentingnya hati untuk terus diopeni.

Selain Gus Makmun ada juga tambahan dari Kyai Mahfudz mengenai pentingnya hidup bersama al Qur'an. Kata Kyai Mahfudz orang jika menjadi shohib al Qur'an maka hidupnya akan tenang. Tidak hanya itu KH. Minhajun Ni'am juga menambahkan bahwa dulu gurunya KH. Zubair Abdul Karim pernah dawuh bahwa orang yang terbaik adalah mereka yang selalu sibuk dengan al Qur'an. Lantas beliau juga bercerita sekaligus mengajak agar kita selalu berdo'a untuk kemuliaan keturunan.

Sahabat Abu Tholhah dan Ummu Salamah berdo'a agar anak turunya menjadi ahli Qur'an dan ternyata dikabulkan. Kita juga belajar kepada sepupu Nabi yaitu sahabat Abdullah bin Abbas dan Ali bin Abi Thalib sebagai salah seorang ahli ilmu dan ahli Qur'an. Mereka telah jelas menjadi mulia karena penguasaan ilmu dan al Qur'an nya. Terakhir yang menjadi catatan kita adalah bahwa indikator kebaikan seseorang adalah terletak pada perkataannya istilahnya "wa kulu kaulan syadidaan". Beliau juga menambahkan 3 kunci sukses untuk para santri yaitu ikhlas, jujur dan semangat.

the woks institute l rumah peradaban 24/9/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde