Langsung ke konten utama

Tradisi Sambatan




Woks

Tradisi sambatan alias meminta tolong di desa masih hidup, dan memang belum mau mati. Berbeda di kota dengan hiruk pikuknya semua telah digantikan oleh kontraktor penyedia jasa-jasa serba instan. Tradisi saling gotong royong tersebut telah membudaya sejak lama. Semua itu tak lain sejak jaman para wali bahkan sebelumnya. Misalnya orang-orang dulu saling kerja sama dalam membangun candi, tempat ibadah, rumah hingga pendapa istana.

Tradisi sambatan memang bernilai kearifan tinggi. Pantas saja jika tradisi ini hanya dapat dijumpai di masyarakat desa dan pesantren. Sambat atau memohon merupakan cara untuk menyelesaikan pekerjaan secara serempak. Biasanya orang sambat agar dibantu supaya pekerjaannya segera usai.

Tradisi ini lahir tidak dari ruang kosong melainkan dari sesuatu yang bernilai sosial, moralitas estetis. Di sana orang secara berkesadaran membantu sesamanya dengan sukarela. Jangan dikira bahwa tradisi ini diberi gaji seperti orang kerja pada umumnya, tidak. Mereka hanya diopeni, misalnya diberi makan dan beberapa camilan pengganjal perut. Dengan begitu aslinya mereka sangat senang karena hidup terasa bermakna. 

Sambatan barangkali akan tetap lestari selama orang-orang merasa butuh satu dengan lainya. Dalam teori sosial sambatan berawal dari akar saling membutuhkan. Akan tetapi jika mereka sudah merasa sibuk sambatan tidak akan dilakukan lagi. Mari saling berguna bagi sesama.

the woks institute l rumah peradaban 19/9/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde