Langsung ke konten utama

God-consciousnes di Tengah Pandemi




Woks

Anak-anak selalu bertanya kapan pandemi ini berakhir, katanya mereka sudah rindu bermain dengan temanya tanpa perlu menutupi sebagian wajahnya. Tidak hanya anak orang dewasa pun demikian, mereka pun merasakan hal yang sama kapan ketidakpastian ini menjadi pasti. Tentu jawabnya entahlah mahluk hanya bisa berikhtiar sedangkan Dia sang maha segala bisa berkehendak kapan pun.

Hampir dua tahun ini dampak pandemi tentu sangat terasa bahkan sampai ke sendi-sendi kehidupan. Persoalan kebangsaan, politik, ekonomi, kesehatan hingga masalah pribadi tak ubahnya ikut terkena imbasnya. Permasalah pribadi misalnya sudah terjadi sebelum atau setelah adanya pandemi yaitu depresi, kecemasan, paranoid, hingga ketidakberdayaan seseorang dalam menghadapi situasi baru. Sekolah masih dirumahkan, tempat ibadah masih dalam sekat batas, tempat umum masih dalam pantauan ketat sedangkan pemerintah masih sibuk ngurusi pemulihan ekonomi skala nasional. Lantas adakah hal yang nampak prinsip di luar itu yang tidak diatur pemerintah? rasanya belum ada.

Nampaknya pemerintah belum masuk ke ranah agama dengan basis ruhaniahnya. Mereka masih sibuk dengan pemberlakuan yang bersifat fisik seperti PPKM berlevel, jaga jarak, pakai masker, pakai hand sanitizer, isolasi mandiri dan gerakan vaksinasi. Menurut Royyan Julian (JP, 31/7/21) seharusnya pemerintah juga segera sadar bahwa aspek ruhaniah atau kesehatan mental juga penting untuk ditegaskan. Apalagi umat beragama di Indonesia sangatlah majemuk maka perlulah untuk diwadahi cara penanganan terhadap wabah. Misalnya dalam tradisi Islam ada tradisi memadahkan syair Burdah karangan Al Bushri kepada mereka yang sakit. Bahkan di kalangan Nahdliyyin untuk menghadapi wabah pagebluk dianjurkan memperbanyak membaca syair لِيْ خَمْسَةٌ اُطْفِيْ بِهَا # حَرَّ الْوَبَاءِ الْحَاطِمَةْ اَلْمُصْطَفٰى وَالْمُرتَضٰى # وَابْنَاهُمَا وَفَاطِمَةْ yang tak lain adalah ijazah dari pendiri NU Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy'ari.

Sebenarnya yang dilakukan kalangan agamawan hanya ingin menegaskan bahwa sekalipun pandemi seseorang tetap tenang dan tidak usah panik berlebihan. Di sini pula yang menjadi refleksi orang beragama dalam bersikap, misalnya mengapa vaksinasi masif dilakukan akan tetapi tidak membawa efek ketenangan. Mengapa orang-orang justru masih menyisakan traumatik jika harus ke luar rumah. Bahkan ironis untuk sekedar beribadah berserah kepadaNya seseorang mengalami ketakutan irasional. Dari sinilah perlulah kita meminjam istilah god consciousnes Muhammad Asad dalam bukunya The Massage of The Qur'an yang menurut Prof. Syamsul Arifin (UMM) sangat menarik untuk diketengahkan sebagai jalan sufi di tengah pandemi (Republika, 28/8/21).

Seseorang memang harus memiliki jurus untuk melepaskan emosi negatif dalam diri yang membebani. Karena mayoritas dari berbagai macam penyakit justru timbul melalui emosi dan pikiran yang terganggu. Bila diteliti lebih jauh efek pikiran memang mudah tergores misalnya karena sering mendengar kabar duka yang ternyata masih simpang siur apakah karena Covid-19 atau penyakit lain. Selain itu berita terkait wabah selalu berlalu lalang melalui gadget kita hampir setiap hari. Hal itulah yang justru membuat pikiran terganggu dan imunitas menjadi down. Bahkan saking membahayakannya aktivitas maya beberapa aktivis medsos selalu menyuarakan tagar #stop penyebaran berita Covid-19.

Dengan demikian kesadaran akan ke maha-an Tuhan justru harus ada pada diri manusia setelahnya barulah pasrah. Kepasrahan yang dianggap berbenturan dengan ideologi fatalis justru merupakan bagian dari ketakberdayaan manusia untuk menambah daya spiritual yang berdampak pada imunitas.

KehadiranNya atau lebih tepatnya menghadirkan Dia sang juru selamat adalah mutlak harus dimiliki seseorang. Apalagi di tengah pandemi seperti saat ini justru seseorang harus menguatkan kembali ikatan spiritual dengan Tuhan. Dengan begitu ketidakberdayaan justru dapat dimerger lewat jalur revolusi spiritual ala sufi. Agar hidup tetap tenang dalam kondisi apapun memang demikianlah yang diajarkan ulama, "hanya dengan mengingat Aku hati menjadi tenang".

*Tulisan ini diterbitkan pula di blog Anak Thoriqoh Indonesia (ATI)

the woks institute l rumah peradaban 16/9/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde