Woks
Mural dan kata memang lebih ditakuti penguasa ketimbang hal lainya. Begitulah kiranya yang sekian tahun lamanya telah terbukti. Suksesi silih berganti akan tetapi kata masih menjadi hantu yang mengusik tidur nyenyak penguasa. Sejak orde lama hingga reformasi kata menjadi musuh utama. Coba kita ingat lagi misteri Widji Thukul hingga hari ini tak diketahui tak lain karena kata-kata.
Fenomena kekinian pun menyeruak kembali dengan kejadian mural yang dihapus petugas. Alasanya sederhana karena merusak keindahan tata kota dan tidak sopan mengkritik dengan cara demikian. Mural sebagai seni jalanan tersebut sebenarnya cara menyampaikan aspirasi pengganti sementara aksi masa. Di mana masa pandemi tak diperkenankan untuk unjuk rasa bergerombol. Akibatnya di tengah keputusasaan seni mencoba mengguncang tahta pemerintah. Mirip dengan mantra hidup Seno Gumira Ajidarma jika mulut dibungkam maka sastra melawan.
Zaman sekarang memang perlu memutar otak bagaimana mungkin orang merusak tembok dengan seni mural lebih dianggap target bahaya daripada mereka yang secara jelas merusak alam. Atau mereka yang jelas merusak marwah negara melalui kuasa bodong jual beli jabatan, korup, suap dan tilap-tilep harta rakyat melalui proyek-proyek. Mural dan wong cilik memang tak pernah benar. Ibarat judul sinema Warkop DKI, maju kena mundur kena. Setiap masyarakat bergerak selalu saja ditamengi undang-undang sehingga lagi-lagi rakyat hanya bisa terkatung-katung melongo pasrah.
Begitulah kiranya bahwa kegeraman masyarakat terhadap penguasa selalu diekspresikan lewat berbagai hal seperti spanduk, poster, meme dan tak terkecuali mural. Menurut dosen Filsafat UI (JP/4/9/21) Saras Dewi mural sebagai sebuah seni penyambung lidah, media kritik, buka suara memang memiliki roh emansipatoris. Ia memicu sensibilitas publik demi mendorong transformasi sosial. Mural tidak hanya sebagai objek tetapi juga bernilai seni politis.
Perubahan barangkali adalah tujuan utama yang dinginkan masyarakat minimal sebagai kabar dari akar rumput tersebut bisa mendapat respon. Keinginan masyarakat sebenarnya sederhana yaitu ingin didengar. Tapi apalah daya mural tak bisa berbuat apa-apa. Padahal dulu era kemerdekaan mural bisa dibilang gemilang dalam menyampaikan pesan kemerdekaan, "justice and freedom". Mural kini justru dituduh menjadi hal yang tak beretika atau vandalism belaka. Lantas apa yang bisa dilakukan rakyat ketika mereka tak mampu bersuara. Diam.
the woks institute l rumah peradaban 8/9/21
Komentar
Posting Komentar