Langsung ke konten utama

Mural yang Muram


Sumber foto: Facebook

Woks

Mural dan kata memang lebih ditakuti penguasa ketimbang hal lainya. Begitulah kiranya yang sekian tahun lamanya telah terbukti. Suksesi silih berganti akan tetapi kata masih menjadi hantu yang mengusik tidur nyenyak penguasa. Sejak orde lama hingga reformasi kata menjadi musuh utama. Coba kita ingat lagi misteri Widji Thukul hingga hari ini tak diketahui tak lain karena kata-kata.

Fenomena kekinian pun menyeruak kembali dengan kejadian mural yang dihapus petugas. Alasanya sederhana karena merusak keindahan tata kota dan tidak sopan mengkritik dengan cara demikian. Mural sebagai seni jalanan tersebut sebenarnya cara menyampaikan aspirasi pengganti sementara aksi masa. Di mana masa pandemi tak diperkenankan untuk unjuk rasa bergerombol. Akibatnya di tengah keputusasaan seni mencoba mengguncang tahta pemerintah. Mirip dengan mantra hidup Seno Gumira Ajidarma jika mulut dibungkam maka sastra melawan.

Zaman sekarang memang perlu memutar otak bagaimana mungkin orang merusak tembok dengan seni mural lebih dianggap target bahaya daripada mereka yang secara jelas merusak alam. Atau mereka yang jelas merusak marwah negara melalui kuasa bodong jual beli jabatan, korup, suap dan tilap-tilep harta rakyat melalui proyek-proyek. Mural dan wong cilik memang tak pernah benar. Ibarat judul sinema Warkop DKI, maju kena mundur kena. Setiap masyarakat bergerak selalu saja ditamengi undang-undang sehingga lagi-lagi rakyat hanya bisa terkatung-katung melongo pasrah.

Begitulah kiranya bahwa kegeraman masyarakat terhadap penguasa selalu diekspresikan lewat berbagai hal seperti spanduk, poster, meme dan tak terkecuali mural. Menurut dosen Filsafat UI (JP/4/9/21) Saras Dewi mural sebagai sebuah seni penyambung lidah, media kritik, buka suara memang memiliki roh emansipatoris. Ia memicu sensibilitas publik demi mendorong transformasi sosial. Mural tidak hanya sebagai objek tetapi juga bernilai seni politis.

Perubahan barangkali adalah tujuan utama yang dinginkan masyarakat minimal sebagai kabar dari akar rumput tersebut bisa mendapat respon. Keinginan masyarakat sebenarnya sederhana yaitu ingin didengar. Tapi apalah daya mural tak bisa berbuat apa-apa. Padahal dulu era kemerdekaan mural bisa dibilang gemilang dalam menyampaikan pesan kemerdekaan, "justice and freedom". Mural kini justru dituduh menjadi hal yang tak beretika atau vandalism belaka. Lantas apa yang bisa dilakukan rakyat ketika mereka tak mampu bersuara. Diam.

the woks institute l rumah peradaban 8/9/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde