Langsung ke konten utama

Sebuah Kisah Anak dan Buku




Woks

Kita harus berterima kasih kepada buku. sejak berabad-abad lamanya dunia telah tercerahkan melalui buku. Andai para pendahulu tidak mewariskan buku barangkali dunia masih gelap gulita. Lantas masihkah kita mau mencerahkan dunia lewat menulis buku?

Menulis buku itu menyenangkan asal kita mau dan berniat gigih pasti bisa. Syarat mutlak untuk membuat buku adalah rasa ingin tahu dan membaca. Tanpa dua hal itu rasanya keinginan hanya akan berakhir dalam angan-angan. Buku barangkali ditulis untuk menyenangkan para pembaca termasuk buku, gambar dan anak yang selalu jadi tantangan.

Tantangan ke depan bagaimana buku bisa tampil elegan di hadapan anak. Karena selama ini gaung gawai lebih membuat mereka tertarik. Lantas bagaimana cara orang tua mendekatkan buku seperti camilan keseharian. Kisah berikut barangkali bisa membuat kita terbuka bahwa buku dan anak adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Jika dulu anak selalu tampil dengan komik, cerbung, buku diary kini semua hal itu nampak begitu jauh. Saya punya teman kebetulan ia tipikal orang yang tidak suka membaca. Akan tetapi ia memiliki iklim komunitas pesantren sebagai pembaca kitab yang tekun. Ia berpikir bahwa kemampuan membaca harus diwariskan kepada anak bagaimana pun juga. Ia nampak sadar ketika istrinya menganjurkan agar anaknya didekatkan dengan buku sejak dini. Artinya bahwa ia suka game boleh saja namun porsi untuk memperkenalkan buku juga tak boleh terlewatkan.

Akhirnya benar juga sang anak diajari untuk mencintai buku. Hampir setiap malam sebelum tidur barangkali buku menjadi kebiasaan seperti dulu sering dibacakan dongeng sebelum tidur. Selain itu buku anak dengan rangkaian gambar menarik pun tak kalah pentingnya. Kini sang anak sering diskusi buku walaupun masih ditahap mengeja setidaknya mencintai buku menjadi awal ia mencintai ilmu. Bahkan menurut kawan ku itu kini hasil dari ketekunan istrinya, sang anak jadi gemar membaca bahkan saat ada bazar ia berlari memilih buku. Laporan terakhir katanya di rak buku yang mirip perpus mini itu ditaksir total sekitar 20 juta hanya untuk buku. Baginya nominal tersebut tak sebanding dengan ilmu yang diberikan oleh buku.

Bicara buku dan anak sebenarnya tingkat melek literasi masyarakat kita terus meningkat. Hanya saja akses bertemu buku yang tidak selalu diupayakan oleh orang dewasa. Alasanya sederhana karena sibuk tan tidak semua orang peduli dengan buku dan anak. Coba saja jika buku menjadi dunia anak pastinya mereka bisa lebih bahagia. Gadget barangkali hanya alat tambahan untuk menjelaskan hal-hal baru melalui buku. Mari dekatkan anak dengan buku. Ajari mereka untuk mencintai buku, mencintai ilmu.

the woks institute l rumah peradaban 4/9/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde