Langsung ke konten utama

Parade Orang Berdo'a




Woks

Sejak pagi hingga petang kita melihat orang-orang sibuk berdo'a. Tentu dengan ragam ekspresi mereka merapal, mengadu, merintih, putus asa, bersyukur membumbung segala harapan menengadahkan tangan ke atas langit berharap rahmat turun dengan derasanya. Di mana-mana orang berdo'a tak kenal tempat, rumah ibadah, makam keramat, di pom bensin hingga di sepanjang jalan.

Rasanya tak mungkin manusia hidup tanpa do'a. Sejak lahir hingga mati do'a menjadi tradisi wajib bahkan do'a adalah ruhnya ibadah. Pantaslah jika agama menyebut orang tanpa do'a adalah manusia sombong tak berperasaan. Tuhan memberikan rambu agar berdo'a memohon apa saja kepadaNya yang maha kaya. Jangan khawatir tidak terkabulkan jika pun demikian toh hari akhir adalah pembalasan atas segala hal.

Suara-suara orang berdo'a memang unik dan menarik. Setiap kita sepertinya tak akan tahu hati mereka yang sedang berdo'a, apa yang diminta, apa yang diinginkan. Rasanya do'a selalu lebih digunakan bagi mereka yang papa. Mereka yang putus asa, terhimpit, tertindas, penuh cemas, merapal harapan sepertinya menghayati. Bahkan untuk sekadar berdo'a mereka tak cukup di mushola tapi rela ber-tour jauh misalnya ke makam para wali.

Barangkali di tempat-tempat tertentu lah do'a-do'a diperkenankan. Sebab di tempat tersebut frekuensi do'a mengalir besar energinya. Do'a ibarat menyambung sinyal antara si pendo'a, wasilah, dan dzat yang mengabulkan. Sehingga semakin besar energi perantara do'a akan mudah terkabul seiring keinginan kuat pemohonnya.

Barangkali demikian do'a dan harapan bisa menjadi satu. Ketika seseorang dirundung nestapa rasanya selama masih ada harapan do'a akan nampak makbul di hadapan Tuhan. Sebagian orang yakin Tuhan selalu berpihak pada si mustadaafin. Harapan tak lain ibarat padang pasir kering yang putus asa merindukan hujan. Ketika hujan itu datang rasanya do'anya benar-benar telah dikabulkan. Begitulah kiranya orang berdo'a merasakan lezatnya bersamaNya. Maka pantaslah jika Dia sang pengabul tidak kunjung mengabulkan do'a karena selalu melihat kebutuhan hambanya bukan sekadar keinginan. Bisa jadi jika do'a tak kunjung terkabul itu adalah cara agar kita selalu dekat dengannya.

the woks institute l rumah peradaban 9/9/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde