Langsung ke konten utama

Kaleidoskop Persahabatan




Woks

Entah tiba-tiba saya rindu dengan kawan-kawan di Aliyah (MA) dulu. Kawan yang telah berjasa besar memberi warna dan pengalaman sebagai seorang yang haus akan pengetahuan. Maka dari itu saya mencoba mengingat momen-momen berkesan bersama mereka dalam narasi singkat ini.

2012 saya masuk ke MA Nurul Hikmah Haurgeulis (Manhik) dan menemukan kawan-kawan yang unik. Bisa bersekolah di sini dan bertemu banyak kawan adalah seperti menemukan barang tambang berharga. Sehingga sampai 3 tahun lamanya kami merasa kurang puas dan serasa ingin terus di sana. Selain teman, gurunya pun sangatlah asyik sebagai kawan diskusi. Karena di sekolah ini strata guru murid hanya terjadi dalam lingkup formal misalnya di dalam kelas selebihnya kita adalah sahabat.

2012 awal kami sudah mengikuti pembelajaran dan riuhnya organisasi. Ya walaupun masih polos kami mengikuti berbagaimacam ekstrakurikuler sesuai dengan keinginan tapi soal Pramuka semua diharuskan. Di tahun yang sama kami harus mengikuti acara calon tegak (CT) atau dalam bahasa Pramuka adalah tamu ambalan. Pada saat itu kami sangat ingat di mana harus berjalan jauh melewati banyak desa, sawah, sungai dan sampai di Pangonan Desa Sidadadi. Barangkali momen ini begitu terasa berkesan hingga saat ini.

2013 awal kami juga bergelut melalui kegiatan OSIS. Pada saat itu kegiatan sangatlah menyenangkan yang terdiri dari berdoa bersama, belajar pidato dan pastinya uang infaq. Di sinilah kami ditempa bagaimana menjadi siswa yang mandiri dan inovatif dalam banyak bidang salah satunya retorika.

2013 tepat tanggal 23 Juni ketika kami sedang melaksanakan pelantikan Bantara, tersiar kabar bahwa guru kami, kiai kami, KH. Hafidz Baehaqi wafat. Barangkali ini adalah peristiwa yang membuat hati berduka. Kami tidak sempat mengantar beliau ke tempat peristirahatan terakhir karena harus melanjutkan perjalanan pelantikan tersebut. Akan tetapi di malam hari di bendungan Salamdarma kami pun menggelar shalat ghaib dan kirim doa tahlil untuk beliau.

2014 saya hampir tidak ingat ada kemangan apa di tahun ini kecuali serangkaian acara Pramuka yang melibatkan adik kelas. Di sini barangkali kami hanya menjadi mentor bagi junior untuk berproses dalam banyak acara seperti lomba, partisipasi dalam pawai, pelantikan serta banyak lagi termasuk persiapan ujian di masa akhir sekolah.

2015 tepat tanggal 23 Juni kami lulus dari sekolah yang sederhana ini. Pada momentum kelulusan itulah kami juga merayakan kelulusan di atas 2665 mdpl gunung Papandayan Garut Jawa barat. Barangkali ini adalah pengalaman penutup yang sangat mengesankan. Kita diajak bersyukur sekaligus mentadaburi alam ciptaannya. Tidak hanya itu kebersamaan sangat terasa sekali saat momen kelulusan ini salah satunya kami bisa berfoto menggunakan seragam putih abu-abu di tengah hamparan pada bunga keabadian adelweis.

2018 berduka lagi teman kami satu perjuangan dan teman duduk saya sejak kelas 10 Esa Prayogi Aditya menghembuskan nafas terakhirnya karena sedari awal mengidap epilepsi. Berita duka ini tentu membuat saya terpukul karena saya sendiri tengah berada di Tulungagung untuk kuliah. Tapi bagaimanapun juga semua sudah jadi takdirNya saya pun hanya bisa memberikan doa terbaik semoga ia husnul khatimah.

Sejak lulus tahun 2015 kami sudah jarang bertemu kecuali melalui pesawat telepon. Dalam rentan waktu hingga 2019 kami hanya bertemu dua kali dalam sebuah momen reuni kecil, pertama di rumah saudari Aam Amini, kedua di rumah saudari Linda Sari. Barangkali pertemuan tersebut menjadi awal sekaligus akhir dari sebuah kisah kerinduan.

Kini di 2021 semua hal telah berubah. Teman-teman yang aku kenal beralih status ada yang menjadi IRT, kerja, kuliah dan entah ke mana. Semua orang berproses sesuai dengan kemampuannya. Semua orang memiliki peran masing-masing dalam menentukan kesuksesannya. Selama masih komunikasi dan saling menghormati di situlah letak pertemanan dipertahankan. Teman barangkali adalah sejarah yang tak pernah dilupa walaupun mereka datang pergi silih berganti.

the woks institute l rumah peradaban 10/9/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde