Langsung ke konten utama

Yang Tak Kalah Berbahaya dari Korupsi




Woks

Ketika ada politisi atau pejabat publik yang tersandung korupsi orang-orang lantas beramai-ramai mengutuk. Mereka merasa perlu membuat sumpah serapah atas ulah culas koruptor tersebut. Akan tetapi lebih jauh kita berfikir apakah mungkin dengan hanya kecewa, membully hingga mengutuk masalah tersebut akan usai. Rasanya tidak sesederhana itu.

Perlulah untuk memandang diri sendiri seberapa jauh seseorang perlu berpikir apakah masalah tidak bisa diselesaikan instan. Rasanya berbenah itu perlu secara holistik mulai dari konsep, sistem, manajemen hingga SDM secara personal. Perlulah kita berintrospeksi diri daripada sibuk menyalahkan liyan. Walaupun kesalahan tersebut jelas benarnya akan tetapi tak ada gunanya pula kita larut dalam labeling tersebut, hanya buang-buang waktu saja.

Daripada sibuk mencerca orang lebih sibuk memperbaiki diri seperti halnya dawuh Mbah Moen suatu ketika, kata beliau:

انّ الشباب والفراغ والجده مفسدة للمرء أيّ مفسدة
Salah satu yang merusak dunia yaitu: orang yang hanya menuruti hawa nafsu, orang nganggur dan mereka yang tak punya kemauan.

Barangkali pesan Mbah KH. Maemun Zubair tersebut perlu direnungi pasalnya 3 hal tersebut sama juga bahayanya dari orang-orang yang menggasak uang negara. Persamaanya pada akibat laten yang ditimbulkannya. Pertama, orang yang selalu menuruti hawa nafsu seperti para pemuda yang hanya berhura-hura. Mereka tidak segera mempersiapkan masa depan dan hanya berpikir saat ini. Bukankah hawa nafsu seperti hewan jika selalu dituruti hanya membuang waktu saja tanpa berpikir akan kebermanfaatan kedepannya.

Kedua, pengangguran juga tak kalah bahayanya karena dengan menganggur orang mudah tergoda oleh rayuan syetan. Orang nganggur tiada pekerjaan sehingga dalam pikirannya hanya bagaimana mendapat uang secara instan. Jika sudah begitu orientasi akan negatif, misalnya nyolong, begal dll. Orang nganggur berarti tak ada proses berpikir jernih karena mereka telah dikuasai nafsu coba jika mereka berilmu pastinya tak akan nganggur dan pasti menggunakan pikiranya.

Ketiga, orang yang tak memiliki kemauan juga sama. Mereka akan sulit diajak maju karena tidak ada motivasi dalam diri untuk berajak melakukan yang lebih. Kata Mbah Moen alasanya sederhana, "aku cukup ngene wae, lillahi taala". Padahal ungkapan itu kata Mbah Moen kurang tepat sebab orang itu harus memiliki angan-angan besar dalam artian bercita-cita bermanfaat dalam spektrum yang luas. Jika hanya sekadar lillahi taala berarti ia hanya berpangku tangan dan statis. Barangkali tiga hal itulah perlu kita renungkan secara dalam agar energi positifnya bisa diakses untuk kehidupan.

the woks institute l rumah peradaban 23/9/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde