Langsung ke konten utama

Pandemi dan Hal-hal yang Diperbincangkan




Woks

Minggu (26/9/21) kita kumpul-kumpul di tengah pandemi dalam acara NaTis (Nalar Kritis) MaTa (Masa Ta'aruf) ForMaSi/KIP UIN SATU Tulungagung. Bertempat di Warkop Sudut Pandang kita memulai perbincangan dengan topik pandemi yang dikupas secara kritis multiperspektif.

Awalnya acara ini dikemas seperti ILC di TVONE dengan konten yang digagas oleh para alumni sepuh, dilalah (b. Jawa) di luar ekspektasi dan akhirnya beberapa alumni muda yang menggantikannya. Dengan konsep diskusi sederhana kita memulai dan diawali pandemi sebagai sajian utama.

Moderator mengawali dengan melempar topik ke salah satu panelis lantas direspon bahwa kebijakan sejak awal dari mulai lockdown hingga PPKM berlevel dalam perspektif hukum adalah sah-sah saja. Setelah itu saya memperkeruh keadaan dengan menjelaskan bahwa yang diupayakan pemerintah dalam rangka pemulihan pandemi sejatinya banyak, akan tetapi kurangnya yaitu belum mampunya memonitoring terkait dampak kebijakan, bantuan yang belum merata dan hanya mengedepankan upaya fisik seperti jaga jarak, vaksinasi, pakai masker dan pembatasan gerak. Pemerintah masih kelimpungan apakah yang didahului antara hifz nafs atau hifz maal sedangkan jika melihat Jepang ketika dibom atom oleh sekutu mereka mampu pulih bangkit dalam waktu singkat. Barangkali yang mereka tanyakan benar adanya yaitu berapa jumlah guru, dokter dan prajurit bukan malah sebaliknya.

Selain itu dampak pandemi juga membuat kacau tatanan yang lain seperti sektor ekonomi, pendidikan, sosial, pariwisata, budaya, hingga keagamaan. Akan tetapi kata Mba Nindy kita harus tetap positif dan optimistik. Mengapa demikian? karena kini kita bisa lebih kreatif dan inovatif terutama soal pemanfaatan teknologi. Coba bandingkan dengan saat lalu orang begitu sulit dan monoton dalam membuat acara seminar tapi saat ini webinar di mana-mana dan sangat mudah diakses. Serta banyak hal lagi lainya termasuk kreativitas UMKM dll.

Akan tetapi sangat disayangkan kata Mas Jaza bahwa akibat pandemi dunia pendidikan harus babak belur terutama mereka orang-orang desa yang gaptek akan teknologi. Kita tentu tahu semua orang yang memiliki siswa sekolah harus dipaksa mengikuti perkembangan dalam bahasa Anthony Gidden menggunakan institusi modern salah satunya gadget. Anak terpaksa harus sekolah virtual dari rumah sedangkan syarat menimba ilmu adalah bertemu guru agar akhlak mereka bisa dibentuk. Dengan demikian tentu kalangan pendidikan prihatin maka salah satu yang menyelamatkan dari potensi "los learning" adalah pesantren. Bahkan kita optimis pesantren adalah pendidikan terbaik kini dan nanti.

Sebenarnya masih panjang catatan terkait diskusi mengenai pandemi ini akan tetapi harus diakhiri dengan pesan-pesan moral. Dalam forum tersebut seharusnya terkhusus bagi mahasiswa baru untuk mempersiapkan mental bagaimana pun keadaanya kita harus siap sedia. Bahwa sesungguhnya proses perkuliahan tak lain agar mendewasakan diri. Selain itu kita juga harus dapat mensinkronisasikan antara kewajiban akademik berupa kuliah dan aktivitas lainya seperti berorganisasi dan membantu orang tua.

Tak kalah pentingnya yaitu untuk tetap optimis dengan terus menimba ilmu, anggap sesuatu itu penting dan bernilai. Jika kuliah daring tak perlu disesali cukup dinikmati dan ikuti prosesnya. Buat semua hal bermakna melalui pendekatan hakikat. Jangan anggap bahwa pembelajaran daring tersebut adalah satu-satunya kelas yang justru pendidikan tersebut lebih dari hal itu. Bahkan setiap anak yang lari-lari ke sana kemari juga bagian dari pendidikan alamiah. Kini saatnya kita kritis dan bijak dalam memanfaatkan sesuatu hal. Ajak diri sendiri untuk instrospeksi agar rasa ingin tahu dan jiwa semangat dapat terus terasah. Lebih jauh dari itu barangkali pandemi mengajak kita untuk "kembali" di balik setiap musibah terselip hikmah.

the woks institute l rumah peradaban 27/9/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde