Langsung ke konten utama

Kisah Anak Muslim Sekolah di Lembaga Non Muslim




Woks

Kemarin aku berbincang dengan seorang teman katanya ia dulu alumnus sekolah non muslim tepatnya SMA Katolik. Setelah lulus dari SMA ia melanjutkan kuliah di jurusan Tasawuf Psikoterapi. Entah apa modus dan tujuannya yang jelas hingga hari ini ia merasa nyaman saja. Dia bercerita bahwa semasa SMA itu anak-anak muslim atau lintas agama lain hanya diberi pelajaran religiusitas. Jadi pelajaran agama tidak ada di sana kecuali bagi siswa katolik diberikan di awal masuk kelas.

Katanya sekolah di sana sangatlah asyik sebab kita bisa melihat pendidikan mereka yang penuh kedisiplinan dan haus akan ilmu. Lihat saja jika soal urusan perlombaan akademik mereka adalah penguasanya. Hal itu terbukti setiap perlombaan selalu dimenangkan. Sekolah non muslim memang favorit jika soal masalah pengetahuan tapi entah soal keagamaan bagaimana. Yang jelas agama adalah kesatuan yang privat kita tidak bisa menghakimi tentang keyakinan yang berbeda.

Belajar di sekolah non muslim sebenarnya tidak masalah, justru bermasalah itu ketika kita menganggap salah. Jika soal pengetahuan seharusnya kita welcome yang terpenting berlaku rumus "saling menghormati", saling pengertian dan toleransi. Tentu kita ingat beberapa waktu lalu di kampus UIN ada seorang pendeta yang kuliah di AFI, juga banyak sarjana Indonesia yang kuliah di luar negeri dengan tujuan kampus non muslim. Justru di sana mereka belajar tentang perbandingan agama dan kajian lintas budaya. Kita juga ingat bahwa Gus Dur juga pernah sekolah di SD KRIS dan SD Mantraman Jakarta. Hal itu menjadi keterbukaan orang tua yang tidak khawatir dengan keyakinan anaknya selama terus dikontrol. Tapi pilihan demikianlah memang sangat sulit didapat akhir-akhir ini. Karena agama masalah yang sangat kompleks.

Menurut teman ku itu ketika sekolah di lembaga non muslim yang tidak mengenakan hati hanya soal busana. Hal-hal lain terkait pelajaran, pergaulan, hingga keyakinan masih dapat ditoleransi akan tetapi soal berbusana bagaimana pun harus ikut aturan. Dia merasa tidak nyaman karena harus sering melihat temanya memakai rok mini dan tanpa kerudung bagi perempuan. Akhirnya atas mediasi orang tua ia diperbolehkan memakai busana panjang akan tetapi tidak berkerudung. Mungkin hal itu lebih baik daripada seperti anak lainya yang rok mini tersebut.

Mungkin begitulah kisah singkatnya ia bersekolah dari lembaga non muslim ke jurusan tasawuf. Katanya ketika kuliah di jurusan tasawuf ia semakin paham bahwa pengetahuan tentang Tuhan, agama, keyakinan, rasa cinta dan ajaran lainya sangatlah luas. Jika mengikuti paham wahdatul adyan Syeikh Abu Mansyur al Hallaj dan Hazrat Inayat Khan tentu akan menganggap bahwa semua agama itu sama. Di sinilah segala hal apapun perlu untuk digali karena setiap gerak langkah ada alasan dan ilmunya. Selamat belajar dan tetap menyegara.

the woks institute l rumah peradaban 15/9/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde