Langsung ke konten utama

Ekspedisi Tunjung Biru dan Pawang Hujan Dadakan




Woks

Sore itu kami bertandang ke perbukitan di Kecamatan Sendang dekat candi Penampihan. Kami menuju sebuah acara TPT atau Tasawuf Psikoterapi Training. Acara ini adalah malam keakraban yang diinisiasi oleh jurusan Tasawuf Psikoterapi UIN Tulungagung dalam rangka menyambut mahasiswa baru. Acara ini dilaksanakan secara turun temurun sejak berdirinya jurusan ini pada 2010 hingga kini.

Perjalanan kali ini cuaca memang tak bisa ditebak sehingga kami harus memutar otak agar bisa sampai tujuan tanpa kehujanan. Akhirnya teman ku Mbah Huda menantang untuk menebak apakah sore itu hujan turun. Jika tebakan tersebut salah berarti aku harus kuliah lagi sergahnya. Aku pun dengan optimistis mampu menebak bahwa hujan tak akan turun sepanjang perjalanan. Singkat cerita kami berangkat dengan motor di antara jalanan panjang berbatu dan berliku.

Dengan dipenuhinya kabut kami pun harap-harap cemas karena perjalanan sangat menegangkan. Hingga akhirnya hujan rintik-rintik turun dengan lembutnya. Barangkali aku mungkin kalah dalam menebak hujan akan tetapi perjalanan hingga sampai ke tujuan tanpa bantuan maps adalah prestasi tersendiri. Begitulah kiranya orang-orang amatir menunjukkan aksinya.

Ketika sudah sampai di tempat tujuan aku mengingat masa lalu sekitar tahun 2015 akhir sekaligus awal masuk menjadi mahasiswa. Barangkali tempat tersebut mengingatkan banyak momen menarik yang pernah dilewati tempo hari bersama kawan baru. Di antaranya mengingat ketika tinggal dalam rumah tua selama hampir 3 hari, menikmati kabut dan hawa dingin pegunungan Wilis, melihat pohon besar nan angker dan tak lupa yaitu keindahan candi Penampihan.

Selain itu di acara kali ini seperti biasanya aku diberi kesempatan untuk beramah tamah dengan kawan lainya. Tujuan silaturahmi ini tentu sangat penting dalam menjalin keakraban. Maka dari itu setelah semua usai kita tak lupa jagongan alias diskusi berbincang membahas apa saja. Semoga melalui acara serupa kita berharap esok akan lebih baik dan dapat membawa manfaat.

Setelah semua usai kami pun pamit pulang. Tak lupa kami pun pulang dengan membawa oleh-oleh berupa susu sapi murni khas Kecamatan Sendang. Hal sekecil apapun inilah yang selalu akan ku kenang. Bagi ku semua yang ku lewati adalah pelajaran berharga. Tulislah apa yang kau temui sebelum semuanya dilupakan.

the woks institute l rumah peradaban 18/9/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde