Langsung ke konten utama

Hikayat Ibu Jari




Woks

Suatu hari dalam sebuah perdiskusian kita akan dapati buku Sapiens karya Yuval Noah Harari. Dalam buku tersebut terdapat gambar jempol pada bagian cover. Menariknya ketika di tanya pada presentator perihal gambar jempol itu ia sedikit bingung barangkali itu adalah bagian dari kehidupan tersendiri.

Lantas saya menerka bahwa jempol tersebut adalah simbol awal sekaligus akhir kehidupan. Jempol atau ibu jari adalah jari yang melahirkan simbolisasi dan ragam makna. Simbolisasi tersebut seperti halnya kepemimpinan pada jari telunjuk, jari tengah tentang keseimbangan, jari manis tentang kesederhanaan dan jari kelingking tentang arti persaudaraan. Jari jemari tersebut jika bergabung menjadi satu tangan utuh yang tentu fungsinya lebih luas.

Tangan bisa digunakan untuk berjabat, untuk menulis, memukul, menarik, mengangkat serta banyak lagi fungsi lainya. Tangan bahkan menjadi simbol kelemahan manusia sehingga mereka perlu menengadah mengangkat kedua tanganya ke hadirat Nya. Dari ibu jari lalu tangan sebenarnya tengah mengajari seseorang untuk mengerti akan posisinya. Sebenarnya tidak hanya sekadar mengerti tapi juga memahami. Sebab dengan memahami berarti orang tengah menyuguhkan satu narasi kedewasaan.

Ibu jari adalah sosok pengayom bagi jari yang lainya di saat banyak jari yang digunakan tidak senonoh seperti jari tengah dengan fuck-nya, atau jari telunjuk yang menghakimi liyan. Ibu jari justru memberi pengajaran akan arti kesopanan orang Jawa sering mengartikan dengan "monggo". Dari ibu jarilah kita akan terus belajar akan hal-hal yang syarat makna. Begitulah kiranya ibu jari akan selalu menjadi peneduh bagi jari lainya untuk menunjukkan jalan dikala tersesat.

the woks institute l rumah peradaban 5/10/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde