Langsung ke konten utama

Menjadi Tour Guide Dadakan




Woks

Kemarin seorang teman dari Jawa barat datang ke Tulungagung bersama dengan adiknya. Katanya ia bertujuan untuk mengantar adiknya yang akan kuliah di Tulungagung dan satu lagi yaitu cari jodoh, eh tidak maksudnya ingin bertemu saya. Singkatnya ia saya jemput sekitar pukul 02 dinihari. Jam tersebut biasanya saya sudah terlelap akan tetapi karena tanggungjawab menerima tamu maka saya sigap dengan menjemputnya di stasiun Tulungagung.

Setelah itu ia saya ajak ke rumah makan cobek sambal mbok Djilah. Salah satu rumah makan yang asyik untuk kantong mahasiswa karena konsep rumah makan tersebut perasmanan ambil nasi dan sambal sepuasnya. Setelahnya kami ngobrol ngalor ngidul sambil menyruput teh hangat melepas rindu. Maklum dua tahun lebih kita belum bertemu bahkan ketika saya pulkan di rumah pun demikian.

Pagi tepat adzan shubuh berkumandang kami bergegas menuju kontrakan tempat dulu saya pernah mukim di sana. Kami istirahat sejenak di sana dan siangnya harus bertolak ke Blitar untuk menemui salah seorang kerabat yang kebetulan berasal dari kampung yang sama. Singkatnya kami menuju ke sana sambil membawa buah sebagai oleh-oleh untuk si empunya rumah.

Kami disambut hangat dan tentunya berbincang banyak hal tentang kisah kehidupan. Hingga matahari sore terbenam kami langsung bergegas pulang melewati jalan dan melalui tambangan. Istilah tambangan di sini terkenal dengan jembatan penyeberangan yang dikemudikan lewat perahu yang menghubungkan antara jalan utara dan selatan. Tapi sayang motor saya yang butut harus rela kita tuntun karena ban mengalami kebocoran. Di tengah sungai Brantas kami mengabadikan momen dengan berfoto sebagai penanda jejak kawan saya itu pernah singgah di sini.

Karena kelelahan akhirnya setelah sampai di pondok kami langsung tidur lelap. Hingga besok hari kami langsung bertolak ke arah selatan. Kami menuju ke makam Mbah Tumenggung Surontani II setelah itu menuju ke Goa Selomangleng. Menuju ke goa inilah kami menyusuri jalan lumayan menanjak ke atas perbukitan di bawah kaki gunung Budeg. Setelah sampai kami langsung berswafoto. Setelah itu kami langsung menuju ke gerbang depan arah pendakian gunung Budeg. Di sana orang berjubel ramai tentu untuk menikmati hilir sejuk angin di atas undakan tangga menuju ke pintu masuk. Kami tidak sempat masuk hanya beberapa batang rokok dan secangkir kopi barangkali menjadi sajian penutup perjalanan tersebut.

Waktu sangatlah singkat kami pun langsung bergegas menuju stasiun karena itu kami langsung tancap gas. Setelah sampai di stasiun teman saya tersebut membeli oleh-oleh khas di antaranya kopi ijo Waris dan kopi Brontoseno. Katanya, waktu yang singkat ini sangatlah mengesankan. Kami pun akhirnya berpisah untuk esok akan bersua lagi.

the woks institute l rumah peradaban 30/9/21


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde