Langsung ke konten utama

Review Buku Meraih Derajat Ahli Ibadah




Woks

Buku "Meraih Derajat Ahli Ibadah" merupakan salah satu karya terakhir Imam Abu Hamid al Ghazali yang versi aslinya yaitu Khulasatu Minhajul Abidin (menuju mukmin sejati). Buku ini diringkas (mukhtasor) dan diterjemahkan oleh ulama alim alamah yaitu KH. R. Abdullah bin Nuh yang juga pendiri perguruan Islam Al Ghazali bahkan beliau dijuluki Ghazalinya Indonesia pada zamannya.

Buku yang bercorak tasawuf ini sejatinya upaya Imam Ghazali dalam mengurai makna ibadah yang sesungguhnya. Ia berharap agar ibadah kita selama ini dapat bernilai dan berkualitas. Buku yang ditulis dari ilham dan petunjuk Allah ini sengaja Al Ghazali hadirkan dalam rangka mengungkap rahasia. Kata Al Ghazali ibadah adalah jalan satu-satunya untuk bersua dengan Allah dan ini tidak boleh tidak. Bahkan Rasulullah bersabda bahwa, "jalan ke surga itu gawat dan mendaki sedangkan jalan ke neraka itu mudah dan rata". Nah untuk menuju ke sana tak lain dengan cara beribadah kepadaNya.

Dalam buku ini Imam Ghazali sangatlah realistis bahwa untuk melewati berbagai hal dalam ibadah tentu butuh ilmu. Ilmu lebih mulia daripada ibadah sehingga Nabi Muhammad bersabda, "ilmu itu pemimpin bagi amal". Tanpa adanya ilmu ibadah sebanyak apapun tak akan ternilai. Maka tidak salah jika Imam Jarnuzi mengisahkan bahwa syetan lebih takut kepada orang alim yang tidur daripada abid' yang bodoh.

Imam Ghazali mengajak kita jika ingin ibadahnya menuai hakikat maka harus dilalui terlebih dahulu beberapa tahapan yang dalam bahasa penerjemah adalah tanjakan. Untuk mendapat predikat mukmin sejati tentu setelah ilmu ia harus melewati tangga taubat, tangga penghalang, tangga gangguan, tangga pendorong, tangga celaan dan tangga puji syukur. Dengan begitu seseorang dapat mendeteksi terutama penyakit hati yang menghalangi dari malasnya beribadah. Imam Ghazali memang piawai dalam upaya preventif melihat penyakit hati seperti karena makanan, sikap, ujub, riya, tama', tulul amal, isti'jal, hasad dan kibir. Karena sejatinya penyakit itulah yang menghijab seseorang untuk beribadah kepada Allah.

Yang tak kalah pentingnya yaitu perbanyaklah bersyukur karena limpahan nikmat dari Allah. Kata Nabi Muhammad, "nikmat itu ada yang liar seperti liarnya binatang buas maka ikatlah olehmu dengan syukur". Dan tidak ada nikmat lain yang lebih tinggi dibandingkan dengan nikmat tadir bahwa kita beriman dan berislam.

Melalui buku ini rasanya kita perlu belajar sekaligus berhutang budi pada Imam Ghazali dengan karya yang sangat bermanfaat ini. Semoga Allah meninggikan derajat beliau.

Judul : Meraih Derajat Ahli Ibadah
Penulis : Al Ghazali
Penerbit : Mizan
Tahun : 2014
Tebal : 106 hlm

the woks institute l rumah peradaban 15/10/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde