Woks
Resepsi hari santri sudah berlangsung kemarin. Orang-orang di kalangan pesantren mengadakan serangkaian upacara, syukuran, hingga memasang bendera. Tak lupa pula medsos dibanjiri ucapan selamat, peringatan dan twibbon khas HSN 2021 itu. Acara perlombaan hingga aktivitas kesejarahan melalui seminasi juga tak kalah ambil bagian demi mengisi hari santri.
Demikian hari santri dipahami sekaligus disalahpahami. Tidak semua orang merayakan hari santri karena bagi sebagian orang HSN hanya intrik politik belaka. Mereka lebih meyakini bahwa HSN adalah hari resolusi jihad maka dari itu hari santri masih milik sebelah tangan. Orang-orang masih menilai hari itu sebagai hal yang kontroversi sehingga tidak semua bisa menerima apalagi identitas kesantrian tersebut masih begitu abstrak.
Berbeda dengan Gus Mus yang mengatakan bahwa siapa saja yang berakhlak seperti santri ia dapat disebut santri. Gus Mus tentu lebih bijak dalam mengartikan kesantrian. Beliau menekankan pada moral yang berlaku di masyarakat dibanding sekadar lebel kesantrian dan pakaian.
Tapi bukan itu atau lebih tepatnya bukan tentang arti justru keresahan terjadi karena hal lain. Keresahan terjadi karena banyak dari putra kiai justru tidak melanjutkan eksistensi pesantren melalui mengaji. Hal itu terbukti salah satunya melalui data bahwa dari dari 150 putra kiai hanya 5% saja yang minat terhadap dunia pesantren. (M. Zainuddin, JP/21/10/21). Bahkan ironisnya banyak dari putra kiai yang tidak bisa membaca kitab. Dengan kasus tersebut akhirnya MUI dan kementrian agama mengadakan kaderisasi ulama bahkan sudah dilakukan sejak tahun 1980an.
Melalui beasiswa Baznas akhirnya kementrian agama membuat program beasiswa doktor yang salah satu proyeksinya adalah untuk kaderisasi ulama demi lestarinya pendidikan pondok pesantren. Tentu kita tahu bahwa sejak dulu kontribusi pesantren sudah sangat nyata bahkan sampai hari ini pesantren masih menjadi jangkar peradaban pendidikan di Indonesia.
Keadaan itu juga merupakan kelanjutan sekaligus respon lebih lagi di saat pandemi, di mana lebih dari 300an kiai pengasuh pesantren banyak yang wafat. Tentu disadari atau tidak satu saja kehilangan mereka penggantinya sulit dicari. Maka dari itu keberlangsungan pesantren ke depanya tidak hanya soal adanya santri tapi faktor pengasuhnya pula.
Pembibitan ulama tentu tak kalah pentingnya karena lewat tangan lembut merekalah para santri bisa dibina, dididik, dan diarahkan. Saat ini kalangan pesantren tidak boleh terlena apalagi lengah. Sebab perkembangan zaman justru mencengkram menjadi tantangan dan peluang. Kesempatan karena perhatian pemerintah kepada pesantren justru harus dimaksimalkan salah satunya lewat kaderisasi ulama tersebut. Semoga saja dengan begitu eksistensi pesantren akan terus berkembang lebih lama.
the woks institute l rumah peradaban 30/10/21
Komentar
Posting Komentar