Langsung ke konten utama

Review Buku Atheis karya Achdiat Karta Raharja




Woks

Atheis barangkali satu dari sekian buku tipe karya sastra lama yang terlaris dan selalu dibaca hingga kini. Buku dengan jenre roman ini berkisah tentang seorang Hasan yang sejak kecil selalu mendapat pendidikan keagamaan yang ketat dari orang tuanya. Hingga ia dewasa ajaran agama Islam sangat melekat kuat padanya bahkan ia turut pula dalam pergumulan tarekat.

Singkat kisah karena pergolakan kehidupan salah satunya asmara di mana Hasan ditinggal kawin oleh Rukmini. Ruk begitu Hasan memanggilnya harus rela dikawin oleh lelaki Arab tua lagi rentenir yang ia sendiri tidak mencitainya. Akhirnya dalam perjalanan Hasan menemukan Rukmini dalam diri Kartini, teman yang ia temukan bersama Rusli dan Anwar.

Di sinilah cerita dalam roman ini berlanjut di mana Hasan yang selama ini dipanggil kiai ingin sekali menginsyafkan mereka yang disinyalir sebagai orang modern berfaham Marxisme dan Leninisme. Alih-alih ingin mengajaknya insyaf justru Hasan malah tenggelam dalam proyeksi pikiran yang ternyata selama ini ia salah artikan. Hasan justru berpaling dari ajaran agama yang telah lama ia genggam sejak kecil. Akan tetapi liku-liku Hasan tidak sampai di situ ia bahkan harus berjuang meyakinkan orang tuanya dan melawan rasa sakit karena penyakit TBC yang dideritanya.

Barangkali membaca roman ini perlu telaah ekstra terutama berkaca dengan konteks penulisan yang pada saat itu ideologi semacam komunis tampak masih subur. Tulisan sastra di Indonesia juga masih langka dalam mengisahkan tema tabu ini. Seolah-olah hal yang berkaitan dengan keyakinan ini memang tidak terlihat. Padahal faktanya populasi atheis itu bisa saja ada di sekitar kita. Membaca Hasan barangkali kita belajar bahwa pemahaman agama yang kaku juga tak kalah berbahayanya. Sehingga perlu lah benteng diri yaitu dengan segenap pengetahuan dan keimanan.

Seperti apa kisah lengkapnya bisa dibaca dalam buku klasik ini.

Judul : Atheis
Penulis : Achdiat Karta Mihardja
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : cet pertama tahun 1949 - cet ke-18 tahun 2000
Tebal : 232 hlm

the woks institute l rumah peradaban 17/10/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde