Langsung ke konten utama

Review Buku Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat Mark Manson




Woks

Buku karya Mark Manson ini nampaknya ditulis dengan sangat jujur. Kejujuranya dalam menulis tentu salah satu keberhasilan pertama sekaligus mengapa karyanya selalu cetak ulang dan selalu dielu-elukan pembacanya. Baik membaca mulai dari judul versi asli atau terjemahan sama-sama mengandung unsur provokasi di mana pembaca di acak-acak pikiran dan emosinya untuk sangat penasaran terhadap tulisan Mark ini.

Buku ini menarik karena membahas hal-hal yang jika diselami mirip dengan ajaran kesufian dalam tradisi esoteris Islam. Misalnya Mark mengajak agar pembaca fokus terhadap hal-hal penting dan tidak peduli dengan sesuatu yang justru tidak membuatnya maju. Dalam tradisi sufi ketidak terlalu pedulian tersebut dapat disebut zuhud, di mana orang-orang tidak terlalu berlebih-lebihan terhadap gemerlap dunia yang ilusif ini.

Mark juga menyatakan bahwa manusia adalah mahluk yang peduli akan tetapi kepedulian tersebut dalam jumlah terbatas. Manusia juga selalu berpikir tentang sesuatu yang dijadikan perhatian serta mengajak melihat batasan diri. Kata Mark jika seseorang berupaya keras untuk tampil positif justru hal itu malah negatif. Alasanya sederhana bahwa belajar itu tidak kaku alias selalu tampil sempurna melainkan kita juga bisa mengakrabi kegagalan sebagai bahan bakar kehidupan.

Mark juga mengutip Albert Camus tentang arti kebahagiaan yang justru semakin diupayakan dicari justru tak akan ditemukan. Karena bagaimanapun juga saat ini bahagia justru bukan versi diri sendiri melainkan karena konstruk lingkungan alias ukuranya orang, tetangga dan masyarakat. Sehingga jika bahagia diartikan demikian kata Mark hal itulah yang jadi bermasalah. Jika dipikir memang benar, realistis saja saat ini berapa banyak orang sakit hati dan iri karena melihat tetangganya sukses misalnya? padahal bahagia itu ketika seseorang mampu merayakan menjadi berbeda bukan tentang (kata) orang tapi kata hati.

Dengan gaya humornya Mark Manson telah memaksa kita untuk segera sadar misalnya bahwa kita tidaklah istimewa. Karena ketika seseorang merasa istimewa berarti ia telah menaruh harapan kepada orang lain untuk menghormatinya dan dalam tasawuf ini termasuk penyakit hati (thoma'). Pantaslah jika Mark menginginkan agar menghilangkan salah satu pangkal masalah yaitu tinggalkan segala keinginan setelah itu kita diajak memahami dimensi hakikat daripada sekadar kulit.

Buku dengan corak pengembangan diri ini rasanya sangat cocok dijadikan camilan bacaan dalam aktivitas harian kita. Karena buku ini tidak hanya mendobrak pikiran tapi juga sebagai satir yang berfungsi mempermalukan diri, menampar wajah kita yang ternyata selama ini belum sepenuhnya sadar dengan kedirian ini.

Judul : Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat
Penulis : Mark Manson
Penerbit : Grasindo
Tahun : 2019 cet. ke-30
Tebal : 246 hlm
 

the woks institute l rumah 16/10/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde