Langsung ke konten utama

Pesantren, Medsos dan Masa Depanya




Woks

Berbincang mengenai pesantren kian hari memang semakin menarik. Karena saat ini kita tahu bahwa pesantren semakin bertransformasi mengikuti perkembangan zamanya. Kini pesantren sedang berada di dunia digitalisasi yang masif sehingga mau tidak mau adaptasi super cepat menjadi langkah utama yang dipilih lembaga pendidikan tertua ini.

Sikap adaptif pesantren sejauh ini sangatlah baik. Kalangan santri sangat cepat merespon era medsos ini. Hal itu terbukti dengan terbukanya informasi serta kebijakan yang dikelola pengurus dan pengasuh pondok. Akibatnya kini informasi apapun sangatlah terbuka. Akan tetapi dengan kecanggihan teknologi pesantren juga bersiap untuk terkena dampaknya.

Kita tentu tahu bahwa era medsos seperti saat ini informasi mengalir deras dan tak terbendung. Para santri dan kiai tentu harus lebih berhati-hati dalam memanfaatkan teknologi tersebut. Lebih lagi kini setiap pesantren telah memiliki akun media sosialnya sendiri. Perlu diketahui bahwa di alam maya notabene yang banyak dijumpai adalah kumpulan opini orang. Kumpulan opini tersebut akan membentuk suatu simpang siur yang membingungkan. Hal itu terbukti karena adanya fakta bahwa narasi besar sedang dibangun di sini. Lantas dalam kekacauan itu apakah kebenaran bisa dijumpai?

Kebenaran era medsos bisa sangat mungkin dijumpai akan tetapi kebenaran tersebut bukan sebuah fakta melainkan hanya sekadar rezim kebenaran. Artinya kebenaran hanya telah dikonstruk oleh segala macam yang berbau kepentingan. Maka tak salah jika saat ini disebut era post truth atau era di mana yang fakta disebut opini dan sebaliknya. Termasuk era di mana keburukan sudah sangat mudah dimaklumi begitu lah sikap asli teknologi.

Pesantren merapal masa depan

Pesantren di era kekinian memang sangat menarik. Berbeda dengan saat awal-awal pesantren hadir di mana corak pesantren cenderung homogen yaitu didominasi oleh pesantren salaf sedangkan pesantren khalaf masih sedikit. Saat ini di era teknologi tentu pesantren semakin bervariatif. Seorang santri bisa sangat mudah menemukan ragam pesantren mulai dari pesantren dengan program khusus bahasa, teknologi, ekonomi, agribisnis hingga pendalaman ilmu hikmah.

Tentu pesantren salaf dengan metode pengajaran sorogan, bandongan, klasikal kitab kuning juga masih bertahan. Sebenarnya kategorisasi tersebut adalah upaya alamiah pesantren dalam merapal perkembangan zaman. Di satu sisi perbedaan seperti apapun pesantren harus tetap memberi pengajaran berupa khidmah, mutholaah, jamaah dan ubudiyah. Apalagi saat ini UU Pesantren hadir memberi angin segar bahwa fungsi pesantren setidaknya ada dua yaitu pembelajaran dan pemberdayaan.

Pesantren sebagaimana berperan ganda di mana pembelajaran sebagai menu utama santri di sisi lain pemberdayaan santri untuk menguatkan skill juga sangat diperlukan. Di era digitalisasi ini tentu bagaimana santri bisa memanfaatkan hal itu untuk sarana dakwah dan pembelajaran. Utamanya di era medsos bagaimana mereka tetap menjadi manusia. Karena selama ini modernitas justru menenggelamkan kemanusiaan.

Melihat fenomena lain di era modern ini tentu pesantren mengalami kesedihan mendalam karena sudah ratusan kiai pengasuh banyak yang wafat karena Covid-19. Jika dulu saat kiainya meninggal orang-orang tidak merasa bingung karena generasi penerus masih sangat bisa diandalkan. Tidak hanya itu wasiat kiai untuk mengambil mantu yang alim seperti menjadi tradisi. Akan tetapi saat ini mengambil mantu santri sangatlah sulit dijumpai. Atau bahkan era saat ini unik lagi yaitu saat pesantren diambang kebangkrutan maka biasanya pengelola akan mencari kiai dari luar untuk mengasuh pesantren tersebut. Walaupun tidak memiliki jalur nasab dari pendiri nyatanya hal itu telah terjadi.

Keterbukaan informasi pun membuat perubahan ditataran domestik misalnya saja saat ini banyak anak kiai yang masuk ke sekolah umum dan sebaliknya anak orang biasa justru di pondokan. Sekolah umum menjadi alasan inklusif pandangan kiai dalam merespon perkembangan zaman. Karena selama ini pesantren yang hidup adalah ketika menggandeng pendidikan formal seperti adanya lembaga diniyah, lembaga SD hingga SMK dst.

Dengan keadaan tersebut tentu kita telah paham bahwa menghindar dari teknologi rasanya tidak mungkin. Maka mau tidak mau pesantren akan menuju adaptasi modernitas baik secara kurikulum maupun secara sarana prasarana. Apakah setiap pesantren mampu untuk merebut masa depanya sendiri? termasuk apakah mungkin pesantren bercorak homogen dengan teknologi semata? entahlah yang jelas pesantren ada di tangan kita semua.

the woks institute l rumah peradaban 31/10/21



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde