Langsung ke konten utama

Maulid Nabi & Hasrat Memberi




Woks

Tiap tahun ketika maulid tiba hampir seluruh umat muslim dunia merayakan kelahiran sang penghulu alam. Setiap orang bergembira setiap alam berpuasa demi penghormati nabiNya. Bala bencana seakan berdiam diri tak menampakan suaranya. Maulid selalu ditunggu dan dinanti sejak lama. Semua orang masih setia dengan ajaranya.

Setiap maulid tiba orang-orang berlomba. Acara demi acara diselenggarakan dengan gegap gempita. Syair-syair pujian dibacakan di mana-mana. Masjid mushola penuh sesak jamaah. Segala macam hiasanya dan pernak-perniknya mempercantik suasana. Jajanan dan anak tak boleh dilupa bahkan petasan tahun baru ikut bergema. Entah seberapa senangnya orang-orang di bulan kelahiran sang nabi itu. Yang jelas maulid adalah puncak dari bulan kerinduan.

Faktor kerinduanlah barangkali merupakan daya dorong utama orang-orang memperingati hari lahir sang Baginda. Terutama di desa ragam ekspresi peringatan maulid sangatlah kaya. Orang-orang datang membawa takir, membawa jajanan, tumpeng, hingga membawa buah-buahan. Semua hasil panen bahkan bisa sangat mudah diserahkan.

Di hari maulid orang-orang memang tampak lebih bermurah, ringan tangan alias dermawan. Apa saja yang ada di rumah ketika mampu disumbangkan maka akan diberikan. Tanpa berpikir panjang semua hal bisa jadi suguhan. Persembahan demi acara maulid memang selalu digelorakan. Orang-orang selalu senang karena berharap syafaat. Rasanya tak sebanding dengan apa yang dicurahkan nabiNya jika hanya ditukar uang recehan atau jajanan pasar.

Tapi demikianlah faktanya bahwa hasrat memberi di hari maulid sangatlah kentara. Orang-orang di segala derita pun menghilangkan kedukaanya hanya untuk perayaan maulid. Katanya mempersembahkan sesuatu buat nabiNya adalah bagian dari terapi jiwa. Orang-orang merasa dekat lebih lagi yang selalu bershalawat, karena shalawat adalah hadiah sekaligus wasilah kita menghilangkan sekat dengan nabiNya.

Jika hasrat memberi dengan kerelaan hati dan segenap jiwa teraplikasikan dalam hal yang lebih luas tentulah segala macam problema akan teratasi. Artinya bahwa kecenderungan memberi tidak hanya sikap dan ruh akan tetapi menjadi bukti nyata bahwa masyarakat benar-benar mengamalkan ajaran nabi panutanya. Sehingga dengan begitu kita turut mengikis karakter buruk yaitu mental pengemis. Semoga saja dengan momen maulid kita tidak hanya sekadar merayakan akan tetapi juga mengamalkan kebaikan.

the woks institute l rumah peradaban 24/10/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde