Langsung ke konten utama

Mengenal Komunitas Carengru




Woks

Semakin sibuk semakin seru, barang kali demikian pepatah yang kini aku lakukan. Ya, kini aku semakin banyak mengikuti beragam komunitas yang ada di grup WhatsApp salah satunya adalah Carengru. Carengru adalah akronim dari "Membaca Bareng Seru". Komunitas ini didirikan oleh Vinda Nafilatuz Zahro atau biasa disapa Umi Vinda, manager Bunda Kiki Mama Bumbum dan admin Mba Ayu Wiranti.

Menurut Umi Vinda Carengru berawal dari kesukaan beliau membaca akan tetapi suatu saat beliau mengalami kesepian dan tidak ada teman untuk sama-sama membaca. Akhirnya beliau menemukan ide untuk membuat satu grup berisi orang dengan minat yang sama yaitu membaca. Singkatnya kini beliau membaca bersama temannya dan hal itu yang mengilhami lahirnya Carengru bahkan hari ini membernya sudah banyak. Katanya tidak hanya sekedar menghatamkan bacaan akan tetapi juga bagaimana mampu memanajemen waktu dalam bacaan tersebut.

Sesuai namanya Carengru memang sangat seru selain menyetorkan beberapa halaman dari buku yang dibaca juga ada challenge yang disodorkan oleh admin. Sebelum para member ikut dalam grup Carengru mereka harus mendaftar melalui admin setelah itu membayar infaq tanda keseriusan minimal 10 ribu rupiah. Setelah itu barulah masuk dalam grup yang mayoritas berisi ibu-ibu dan mengikuti panduan selanjutnya dari admin.

Salah satu aktivitas ketika sudah masuk dalam grup yaitu pertama, kita akan menyetorkan buku TBR alias to be read, kedua, kita akan menyetorkan jumlah halaman dari buku yang dibaca. Ketika buku sudah selesai dibaca maka member akan menuliskan kata done dan menyetorkan hasil resensi singkat dari buku tersebut. Selain menuliskan list buku yang sudah dibaca kita juga akan mendapat berbagai tips and trik terkait kegiatan literasi dari admin. Yang menarik lagi aktivitas melalui challenge batch ini menyita waktu hingga 40 hari. Tujuannya sederhana yaitu untuk membentuk kebiasaan baik dan merawat mood membaca. Jika selama 40 hari tersebut member tidak memenuhi syarat maka wajib diperingatkan hingga di kick dari grup. Selain itu di dalam grup ini akan ada banyak reward dan saling sharing ilmu dari setiap membernya. Apakah anda tertarik mengikuti grup ini?

the woks institute l rumah peradaban 7/10/21




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde