Langsung ke konten utama

Review Buku Misykat Cahaya-cahaya Al Ghazali




Woks

Membaca buku Misykat Cahaya-cahaya atau dalam versi aslinya Misykat al Anwar karya Hujjatul Islam Imam al Ghazali sangatlah menguras tenaga dan pikiran. Pasalnya sangat sulit memahami bahasa yang termuat pada setiap bait kalimat dalam karya ini. Maka pantas dalam seri tasawuf buku ini termasuk kategori masterpiece seperti halnya karya Ibnu Arabi' dan Al Jairi.

Buku ini adalah karya Al Ghazali tentang tafsir surah An Nur ayat 35 yaitu upaya beliau dalam menjelaskan cahaya itu seperti apa. Menurut Al Ghazali yang selama ini kita pahami tentang cahaya ternyata masih keliru. Cahaya dipandang oleh orang awam, orang khusus dan lebih khusus tentu berbeda karena selama ini pandangan mata masih mengelabuhi. Kata Al Ghazali mata yang mampu menangkap cahaya adalah yang terdapat sifat kesempurnaan yaitu sering dinamakan 'aql (akal), ruh atau nafs (jiwa). Sehingga sampai kapanpun mata hanya dapat melihat sesuatu yang terlalu dekat atau jauh tetapi bagi akal dekat atau jauh tak ada bedanya.

Kata Al Ghazali Allah itu mempunyai 70 hijab (tabir menutup, pendinding) cahaya dan kegelapan. Seandainya Dia menyibakkan, niscaya cahaya-cahaya wajahNya akan membakar siapa saja yang memandangnya. Hal ini percis ketika Nabi Musa AS tak mampu menerima cahayaNya di saat Dia diminta untuk menampakan diri di bukit Thursina. Sehingga keberadaanNya tidak bisa dipandang oleh mata dhohir karena memang keterbatasan mahluk sebagai ciptaanNya.

Upaya Al Ghazali dalam menafsirkan surah An Nur ini sangat mengesankan bahkan beliau berpendapat bahwa tidak semua orang diberi cahaya karena cahaya hanya ada pada mereka kalangan manusia kamil, arifin dan para nabi. Lebih jauh lagi lantas kita bertanya adakah cahaya sejati? Cahaya sejati hanyalah Allah, Dia adalah cahaya langit dan bumi. Dia cahaya seluruhnya dan paling meliputi secara sempurna.

Tidak hanya soal cahaya Al Ghazali juga menafsirkan mengapa Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak? katanya bila mana daya tarik ke arah kesibukan-kesibukan dunia seseorang lebih kuat, hal itu akan menghambat orang tersebut dalam perjalanannya menuju surga. Dari sinilah tentu kita akan mengakui bahwa Al Ghazali memang sangat layak disematkan gelar Hujjatul Islam wal Muslimin.

Judul : Misykat Cahaya-cahaya
Penulis : Al Ghazali
Penerbit : Mizan
Tahun : 2017
Tebal : 146 hlm
 
the woks institute l rumah peradaban 9/10/12

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde