Langsung ke konten utama

Bapak dan Pendidikan Kebahagiaan




Woko Utoro

Saya sangat beruntung memiliki orang tua yang selalu mendukung pilihan hidup hingga saat ini. Memang sejak dulu baik itu ibu terlebih bapak selalu percaya terhadap pilihan anaknya. Terutama dalam hal menimba ilmu bapak menjadi garda terdepan mensupport saya. Sedangkan ibu dalam sistem among memberi dorongan di belakang baik berupa doa maupun materi.

Kendati bapak orangnya keras dan tegas tapi soal visi ke depan beliau begitu demokratis. Bahkan soal pendidikan beliau tidak ikut campur terlalu dalam. Kata bapak pendidikan dalam hal ini di dunia formal adalah tugas anak sedangkan orang tua terus memotivasi agar menghasilkan output terbaik. Sebelum Haidar Bagir menuliskan dalam satu judul buku yang bernada bertanya, "Mendidik Anak Pintar Atau Bahagia" tentu bapak saya sudah terlebih dahulu menjawabnya.

Pendidikan kebahagiaan adalah jalan sunyi yang ditempuh bapak. Sejak di bangku SD baik saya maupun adik tak pernah ditarget untuk pintar. Terlebih seperti mayoritas orang tua harus bisa ini itu, harus juara, harus ranking, harus peringkat dll. Keinginan bapak dalam bidang pendidikan sangat sederhana yaitu bagaimana kami mampu mengaplikasikan ilmu yang didapat. Ternyata keinginan tersebut tidaklah sederhana dan sangatlah sulit. Yang jelas bagi bapak buat apa pintar jika tidak beretika. Untuk apa pintar jika tidak bahagia.

Rerata kepintaran selalu merujuk pada penguasaan kognitif psikomotorik. Sedangkan aspek lain misalnya afektif, sosial, agama dan emosional tidak begitu diperhatikan. Padahal sangat jelas bahwa output pendidikan adalah mencetak pribadi yang berintegritas. Integritas dihasilkan dari kebaikan moralitas. Ki Hadjar Dewantara menyebutkan bahwa esensi pendidikan adalah untuk memerdekakan manusia, menggapai keselamatan dan kebahagiaan.

Fakta di lapangan apa yang menjadi tujuan pendidikan ala Ki Hadjar masih sangat jauh dari harapan. Pendidikan saat ini justru lebih menuntut, selain itu penyeragaman pada siswa membuat matinya kreativitas. Anak-anak menjadi tertekan dan merasa bahwa sekolah bukanlah tempat yang asyik. Saya sering menjumpai jika anak tidak ingin sekolah dengan alasan lebih baik liburan atau bermain. Jika pun sudah di kelas mereka selalu ingin keluar, istirahat dan bermain. Pelajaran di kelas membuat mereka jenuh dan tidak bahagia.

Prosesi bermain dan belajar masih belum direspon dengan serius oleh dunia pendidikan. Kita masih terfokus dengan serangkaian ujian dan ujian. Sehingga penilaian anak hanya terpaku pada raport dan selembar ijazah. Akibatnya kepintaran dan angka-angka menjadi tujuan utama. Padahal menurut penelitian dosen di Harvard University pada mahasiswa kedokteran, hukum dan bisnis bahwa tidak ada hubungannya kesuksesan dengan kepintaran yang bersandar pada IQ. (Bagir, 2019:53). Justru kesuksesan itu berdasarkan minat, moralitas, dan pengembangan psikologi positif yang dimiliki anak sejak mereka tumbuh berproses di dunia pendidikan.

Dari penjelasan tersebut saya juga belajar dari bapak bahwa pendidikan itu bertumpu pada moralitas. Bertumpu pada kebahagiaan anak asalkan tetap diarahkan. Bagi bapak, pendidikan ini yang menjalankan anak. Maka perlu untuk menyesuaikan dengan kebutuhan serta minat bakat mereka. Orang tua tidak boleh egois dan harus menjaga perasaan anak. Lebih baik mengembangkan karakter daripada berfokus pada kepintaran IQ.

Rerata anak-anak sukses adalah memiliki karakter bahagia misalnya disebutkan oleh Goleman (1999) yaitu kejujuran, mengelola emosi, teguh dan tanggungjawab, adaptasi, serta keterbukaan ide. Sikap-sikap itulah yang justru lebih tahan lama dan terbukti dapat memecahkan masalah dalam hidupnya. Kata bapak sebaik-baik peninggalan untuk anak adalah ilmu dan akhlak.[]

the woks institute l rumah peradaban 7/8/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde