Langsung ke konten utama

Suara Rohani




Woko Utoro

Pernahkah kita mendengar suara dalam hati? Atau pernahkah kita mendengar bisikan nurani akan suara yang tidak tau dari mana asalnya. Yang jelas suara itulah yang sesungguhnya bisa kita pelajari berdasarkan peran dan fungsinya. Manusia memang tak bisa jauh dari suara terlebih yang melahirkan musik. Karena musik terlahir dari suara harmonis antara nada yang dihasilkan lewat alat maupun bisikan alam.

Suara itu ada 2 yaitu pertama suara yang hanya konsumsi telinga dan kedua suara sebagai konsumsi hati. Suara telinga bisa jadi mereka yang merdu dalam hal melantunkan syair-syair akan tetapi hanya sebatas hiburan. Suara tersebut tidak sampai mengoyak hati dan tentunya banyak ditemui di sekitar kita.

Selanjutnya suara konsumsi hati atau pikiran. Suara tersebut sebagai kebutuhan intelektual. Biasanya suara ini biasa saja bahkan terbilang sumbang namun dampaknya luar biasa. Suara ini adalah penjelasan akan sebuah ilmu. Suara yang nampaknya tidak dipahami akan tetapi frekuensi rasanya bisa ditangkap. Maka kata Gus Baha sudah jelas mana bedanya suara yang seharusnya dibutuhkan orang. Yaitu suara ngaji untuk terus mengasah nurani. Suara pemahaman bukan sekadar suara hiburan.

Sebenarnya suara tersebut sama-sama pentingnya. Suara tersebut memiliki posisinya tersendiri. Sehingga dari suara tersebut kita bisa menyeimbangkan antara kebutuhan rohani dan jasmani. Bisa dijumpai di desa misalnya ada mbah-mbah sepuh yang bacaan al Fatihahnya jauh dari standarisasi baca Qur'an (versi kekinian). Akan tetapi justru suara mereka mampu mengikis sanubari. Tak terasa hati yang keras bisa luluh bahkan air mata membasahi pipi.

Sebaliknya ada juga di sekitar kita suara-suara anak muda yang katanya merdu, melantunkan syair Arab dan mahir melanggamkan bacaan Al Qur'an dan shalawat. Akan tetapi justru tidak memiliki pengaruh apa-apa kecuali keterpukauan biasa. Bahkan tak sedikitpun menyentuh sanubari untuk sekadar ingat akan nikmat Nya. Inilah barangkali menjadi satu dari sekian alasan mengapa musik diharamkan, karena suara yang justru melupakan akan kehadiranNya.

Lantas adakah suara yang dahsyat? Apakah suara dentuman atau suara yang jika dibunyikan setiap orang kagum. Ternyata suara yang dahsyat adalah dzikrullah. Kendati dzikrullah dilakukan dengan khofi atau sirr akan tetapi hal itu masuk kategori suara dahsyat. Para penyair sufi mengatakan bahwa bisikan dzikir tak terdengar di telinga tapi suaranya menggemparkan langit.

Selanjutnya suara bisikan hati. Jenis suara yang tidak bisa dibohongi. Karena suara hati hanya bisa di dengar oleh hati pula. Ada istilah dari hati ke hati dan hati memang perangkat utama untuk memahami bahasa rasa. Cinta adalah bahasa rasa maka sulit dipahami oleh bahasa kata. Namun rasa cinta bisa dijelaskan oleh bahasa hati. Hanya hati suci lah yang mampu menangkap suara ini. Sekalipun tak sempat terucap tapi hati tak bisa dibohongi. 

Dalam tradisi pesantren bahasa hati adalah suara yang masuk lewat gelombang bernama futuh. Suara yang tidak terlihat secara verbatim tapi bisa dirasakan lewat kemurnian nurani. Sudahkah kita mendengar suara rohani atau jangan-jangan kita asing dengan suara sendiri?[]

the woks institute l rumah peradaban 18/8/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde