Langsung ke konten utama

Ngaos Rutinan Sareng KH Abdul Kholiq




Woko Utoro

Alhamdulillah agenda ngaos rutinan Ranting NU Plosokandang masih berjalan lancar. Seperti biasanya agenda bulanan tersebut diisi oleh KH Abdul Kholiq (Pengasuh PP Mbah Dul Plosokandang). Kali ini rutinan bertempat di Masjid Miftahul Hasanah, timur Bok Brombong. Atau masjid Mbah Nuruddin, sesepuh desa Plosokandang.

Malam yang dingin selepas isya kami bersama barisan para pemuda sudah standby di sana. Sambil menunggu Mbah Kholiq rawuh senandung lagu-lagu Timur Tengah mengalun merdu dari sound kecil. Hingga pukul 21:00 Mbah Kholiq baru hadir bersama mobil tua nan khas.

Acara pun langsung dimulai. Pak Jazuli mengawali pembukaan seraya mewakili panitia. Setelah itu barulah pengajian Mbah Kholiq dimulai. Seperti biasa beliau mengajak jamaah untuk bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Suara beliau nan khas membuat kita selalu merasa kangen. Hal itulah yang membuat saya selalu memiliki kesan tersendiri.

Mbah Kholiq menjelaskan dalam pengajian untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat yang besar. Kita bersyukur dipertemukan kembali di bulan Agustus, bulan kemerdekaan. Dengan bersyukur itu pula lah tugas kita selanjutnya adalah mengisi kemerdekaan dengan kebaikan. Salah satu isian kemerdekaan adalah dengan rutin mengaji.

Mbah Kholiq dalam pengajian menjelaskan takut pada Allah adalah tolok ukur seorang muallim. Karena ilmu bermanfaat itu yang disandarkan kepada Allah. Yang terpenting lagi syarat kemajuan seseorang harus ittaqullah, karena ketaqwaan adalah pondasi kehidupan. Di era kekinian, era media tak menentu dasar ketaqwaan harus dibangun dengan kokoh.

Terakhir sebelum diakhiri acara ditutup dengan melantunkan syair di bawah ini. Juga tak lupa saling bersalam-salaman. Adapun syair tersebut yaitu :

Ya Allah kulo nyuwun ilmu manfat lan barokah
Ya Allah kulo nyuwun keluarga sholeh lan sholeh
Ya Allah kulo nyuwun rezeki katah lan barokah
Ya Allah kulo nyuwun keluarga ingkang sakinah
Ya Allah kulo nyuwun ibadah kang istiqomah
Ya Allah kulo nyuwun benjang peja khusnul khatimah

the woks institute l rumah peradaban 15/8/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde