Langsung ke konten utama

Tentang Pertemuan Itu...




Woks

Di sore hari ketika mentari surup menuju pembaringan. Yang tersisa hanyalah bayangan tapi udara begitu sejuk. Semilir angin sore berhembus lembut. Di sebuah warkop tidak jauh dari kampus. Aku datang untuk memenuhi panggilan seorang teman baru. Dengan dibonceng temanku kami menuju ke sana bersama. Ahh rasanya hati sedikit berdebar.

Sesampainya di sana kami memesan kopi dan es squash pandan dan langsung menuju gazebo yang khas itu. Ku pandangi setiap orang yang datang dari mulai sekadar ngopi sampai para sales menawarkan aplikasi. Setelah minuman tersaji rapi kami memulai pembicaraan ringan dan receh. Pembicaraan tanpa prolog dan memang sejak awal senyum bertemu senyum, tawa melahirkan tawa. Suasana sore nampak hangat dan istimewa.

Gadis itu datang dengan penuh gugup katanya. Seperti di film-film pertemuan kedua ini tampak tak pernah terskenario. Pertemuan ini hanyalah imbas dari pertemuan pertama dari sudut kampus nan megah. Awalnya dia datang untuk ambil foto wisuda. Kami bertemu dengan tak sengaja. Tiba-tiba di ruang sempit itu senyum manis merekah. Bola mata tak kuasa berbohong. Pandang bertemu pandang. Kata dia, stop ini zina mata. Kata ku, bukan. Itu hanyalah takdir Tuhan mempertemukan mata nan indah. Hingga akhirnya kita berpisah sejenak di bawah terik matahari yang menyengat. Aku pun tidak tahu setelahnya. Demikianlah kata Sabrang, sebelum cahaya saat ini dan sesudahnya.

Pertemuan itu ibarat ruang rindu. Kecil namun bisa dimasuki oleh segenap cahaya perasaan. Ahh aku sendiri bersikap biasa saja. Tak ada bedanya antara sebelum dan sesudahnya. Tapi kata Ebiet G Ade pertemuan dan perpisahan sama-sama nikmat. Atau lain lagi kata Rhoma Irama, pertemuan yang ku impikan kini jadi kenyataan. Memang sejak dulu banyak musisi menulis syair tentang pertemuan. Padahal cahaya memasuki di saat perpisahan. Tapi jangan terlalu terburu-buru membuka perpisahan. Karena bagaimana pun juga setiap orang selalu kalah dengan perpisahan. Sampai-sampai banyak orang yakin bahwa reuni adalah wadah agar rasa tak segera berpisah.

Singkat kisah kami bertemu lagi dengan tidak sengaja. Bahkan pertemuan itu semakin dekat. Entah bagaimana caranya semesta mempertemukan. Yang jelas kini pertemuan itu semakin intens ketika dunia serasa dalam genggaman. Kami saling mengunjungi walaupun hanya sebatas bertegur sapa lewat WhatsApp. Hingga akhirnya sore itu pertemuan adalah puncaknya.

Kata para sufi pertemuan adalah perjumpaan yang diidamkan. Karena mustahil para perindu memendam rindunya jika tanpa sebuah syair. Bagi para sufi pertemuan adalah hutang yang harus dibayar lunas. Tapi berbeda dengan Qais si Majnun ketika ditanya memilih pertemuan atau perpisahan. Ia memilih perpisahan karena dalam perpisahan terdapat kerinduan. Tapi apapun yang jelas bertemu adalah puncak setelah menanam kerinduan sejak lama.

Pertemuan adalah tanda agar seseorang tidak kesepian. Jika menganggap bahwa manusia berasal dari kesendirian dan akan kembali pada kesendirian. Justru hal itu salah langkah karena kesendirian kita akan berakhir bersamaNya. Jadi kata Rumi, "Jangan merasa kesepian, karena seluruh alam semesta ada di dalam diri mu". Rumi ingin menegaskan bahwa kebersamaan lebih baik yang terpenting satu jiwa. Untuk apa bertemu jika jiwa kita sedang berada di alam nan jauh. Pertemuan adalah cara agar seseorang fokus dengan tujuannya.

Suasana makin sore. Sedangkan aroma malam semakin terasa. Kami memang sejak awal hanya bercengkrama soal cerita lucu. Cerita tentang tawa dan kisah remeh dalam hidup. Kita bahas kuliah hingga membincang masa lalu nan sendu. Hingga akhirnya di kedai mie ayam suasana hangat kembali. Padahal di kedai itu perpisahan segera tiba. Aku berpesan pada diri sendiri bahwa tidak perlu menganggap diri paling menderita. Karena setiap orang memiliki ujian sesuai porsinya. Maka dari itu tetap optimis saja dan nikmati prosesnya. Rumi memberi pesan bahwa "Aku akan mencintai segala ujian karena aku yakin yang memberi ujian juga mencintai ku". Siapa yang memberi ujian tersebut tak lain Dia sang maha pusat, Allah SWT.

Dalam pertemuan singkat itu akhirnya kami berpisah. Berpisah untuk berusaha bertemu kembali suatu saat. Kami yakin pertemuan adalah cara merangkai masa depan. Kita yakin setiap harapan akan ada jalan. Seperti pertemanan dipertemukan sebagai salah satu jalan rezeki. Kita tak pernah tahu teman mana yang akan menunjukkan jalan kepada keridhoan. Maka teruslah berteman dan sebaik-baik teman adalah yang menunjukkan jalan kepada Allah.

Ahh sayang sekali pertemuan itu sangat singkat dan kita harus berpisah meninggalkan seberkas senyuman. Senyum yang tenggelam bersama menteri dan yakin esok akan terbit lagi.[]

the woks institute l rumah peradaban 6/8/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde