Langsung ke konten utama

Gus Iqdam : Ngaji dan Hiburan




Woko Utoro

Jika kita mengikuti algoritma Gus Iqdam, jamaahnya semakin bertambah. Majelis Sabilu Taubah yang masih seumur jagung tersebut sudah menunjukkan taringnya. Rerata ketika ditanya apa faktornya mengapa jamaah semakin membludak yang jelas pengajian Gus Iqdam mudah diterima semua kalangan. Ngaji beliau memang santai dan penuh hiburan. Sehingga dari itu majelis beliau semakin diminati.

Menurut psikologi fungsi hiburan memang sangat ampuh untuk mengoyak emosi seseorang. Di tengah kesibukan dan keruwetan aktivitas harian, hiburan menjadi obat penawar. Maka ketika melihat pengajian Gus Iqdam yang penuh hiburan tersebut jamaah semakin tertarik. Ketertarikan tersebut melahirkan kenyamanan. Setelah nyaman orang ketagihan. Terlebih lagi pengajian beliau dikolaborasikan dengan adanya musik dan nyanyian tentu menambah gairah orang-orang penasaran. Tidak hanya itu dialog dan adanya "sangu" atau reward menjadi daya tarik tersendiri.

Gus Iqdam beberapa kali menyampaikan bahwa beliau tidak memiliki metode apapun dalam pengajiannya. Beliau ngaji tanpa konsep dan mengalir saja. Akan tetapi bagi sebagian kalangan metode ngaji yang diselingi guyonan memang sedang ngetrend di era kekinian. Utamanya anak milenial, ngaji dengan gaya santai memang selalu dicari. Lebih lagi anak muda adalah fase pencarian identitas. Anak muda sangat membutuhkan healing untuk merefresh otaknya. Maka dengan adanya pengajian ala Gus Iqdam, anak muda merasa terwakili baik kebutuhan jasmani maupun rohani.

Jika diamati sekilas ngaji dengan humor adalah ciri khas kiai dan santri NU. Karena bagi warga NU humor adalah berfungsi sebagai katalisator pemecah kebuntuan. Jika kita tarik sejarah lebih jauh perlu diketahui bahwa Kanjeng Nabi Muhammad SAW juga merupakan sosok yang humoris. Kendati Nabi Muhammad SAW melarang tertawa berlebihan yang jelas humor juga bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan. Kanjeng Nabi Muhammad SAW pernah dawuh bahwa,“Sesungguhnya aku juga bercanda namun aku tidak berkata kecuali yang benar.” (HR. Ath-Thabrani). Cerita-cerita bahwa Kanjeng Nabi itu humoris tentu banyak dijumpai terutama dalam kisah beliau dengan Ali perihal kurma, dengan Nuaiman dan dengan seorang nenek perihal surga.

Dari dawuh Kanjeng Nabi tersebut tentu kita belajar sekaligus sadar bahwa umat ini sudah lelah. Mereka sudah capek dalam sibuknya aktivitas maka dari itu humor adalah hiburan alamiah yang selalu diciptakan. Pantas saja jika ngaji plus hiburan kini menjadi pencarian banyak orang. Gus Iqdam telah sadar sejak lama bahwa pendekatan paling efektif dalam merangkul jamaah salah satunya dengan memfungsikan humor, hiburan dan nyanyian. Gus Iqdam menyebutnya sebagai ngaji ngopi, ngaji happy.

Terakhir ketika ditanya jamaah Gus Iqdam mengapa mereka merasa mudah mencerna ceramahnya. Karena Gus Iqdam menyampaikan dengan penjelasan sederhana terlebih lagi nada guyonannya membuat ilmu langsung menancap. Gus Iqdam tentu paham bahwa jika orang sudah nyaman maka akan mudah dinasehati.

Menurut Cossairt dan Jacobs dalam Istiningtyas (2015) bahwa penggunaan humor memberikan efek yang positif pada program pendidikan (baca: ngaji) karena dapat memicu dan menstimulasi memori, kreativitas, motivasi, menurunkan stres, meningkatkan komunikasi, mengarahkan perhatian, membuka pikiran yang tertutup, meningkatkan pemahaman, meningkatkan harga diri, membantu mengingat materi-materi yang telah dipelajari, dan memberikan energi bagi tenaga pengajar dan anak didik. Dalam konteks Gus Iqdam tentu ngaji dengan diselingi hiburan justru membuat jamaah mudah dikendalikan sekaligus dipahamkan. Bahasa sederhananya kuasai hatinya dapatkan cintanya.

Kata Gus Iqdam jika ada jamaah yang dinasehati masih ndablek atau justru diterjemahkan yang tidak-tidak maka harap maklum saja, itu adalah spesies jamaah tolol. Wongee yo tekoo.[]

the woks institute l rumah peradaban 8/8/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde