Langsung ke konten utama

Review Buku Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia




Woko Utoro

Jika ditanya satu kata untuk menggambarkan pendidikan hari ini maka "resah" adalah jawabannya. Jawaban tersebut barangkali menjadi isi dalam buku karya Haidar Bagir ini. Buku Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia merupakan keresahan Haidar Bagir tentang arah dan tujuan pendidikan nasional. Kata resah tersebut tidak salah karena memang faktanya pendidikan kita masih jauh dari cita-cita para pendiri bangsa. Utamanya soal pembelajaran agama yang sangat minim dalam sistem pendidikan nasional.

Buku yang terdiri dari 3 bagian tersebut berisi buah pikiran Haidar Bagir mengenai dunia pendidikan Indonesia yang kompleks. Haidar Bagir merenungi nasib pendidikan kita yang ternyata masih masih terkungkung pada serangkaian penilaian kuantitatif, asesmen, serta ujian-ujian. Pendidikan yang diselenggarakan pada sistem persekolahan justru membuat anak-anak jenuh. Sekolah kita tidak memberikan apa-apa selain penyeragaman sekaligus tidak menggairahkan bagi perkembangan siswa.

Nampaknya lewat tulisan ini Haidar Bagir merefleksikan kembali sekaligus mengingatkan mengenai sistem, falsafah serta apa tujuan diselenggarakannya pendidikan. Apakah pendidikan diciptakan hanya sekadar mengisi ruang kosong atau memang menjadi wadah penempa sumbernya manusia. Padahal sangat jelas bahwa tujuan pendidikan adalah mengaktualisasikan segenap potensi manusia yang meliputi aspek fisik, mental, spiritual demi menjadi manusia sejati. hlm 35. Bahwa pendidikan itu bukan terletak pada penilaian angka-angka serta kecerdasan kognitif belaka. Melainkan adanya kesadaran dalam mendayagunakan fungsi akal yang membentuk karakter luhur.

Lewat buku ini Haidar Bagir menawarkan solusi berupa peninjauan ulang terhadap kurikulum, sistem, materi, metode, serta paradigma pendidikan kita dalam teori dan praktiknya. 175. Ia juga ingin menitik beratkan pendidikan pada aspek vokasional ruhaniah, pengajaran berbasis praktek dan tidak sekadar teori. Termasuk menyandarkan pada pendidikan estetika. Pendidikan yang dapat melahirkan siswa yang cinta ilmu, melahirkan kreativitas serta adaptif terhadap perubahan lingkungan.

Tentu tidak ada gading yang retak. Esai-esai Haidar Bagir yang berisi topik pendidikan ini juga perlu dikritisi. Di mana pada bagian akhir beliau hanya menuliskan serangkaian abstraksi mengenai pendidikan moral ala Islam. Sedangkan ditaraf aplikatif pandangan beliau masih sangat jauh dari harapan perbaikan pendidikan itu sendiri. Walaupun demikian setidaknya dengan membaca buku ini kita jadi tercerahkan. Bahwa benar adanya pendidikan itu output utamanya adalah perbaikan moral manusia.[]

Judul Buku : Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia
Penulis : Haidar Bagir
Penerbit : Mizan
Tahun : 2019
Halaman : 209 hlm
ISBN : 978-602-441-135-0

the woks institute l rumah peradaban 11/8/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde