Langsung ke konten utama

Milad ke-2 TPQ Kortan Kauman




Woko Utoro

Pada rutinan Ahad legi kemarin ada yang istimewa dari keluarga TPQ Kortan Kauman. Yang menjadi istimewa karena di hari itu ada 3 agenda yang menjadi fokus TPQ Kortan Kauman yaitu peringatan milad ke-2 TPQ, tahun baru Islam 1445 H dan mensyukuri hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-78.

Acara yang biasanya diisi dengan musyawarah antar kepala TPQ justru kali ini diisi dengan beragam perlombaan khas kemerdekaan. Dengan undangan tersebut tentu kami sangat antusias. Salah satu tujuannya tak lain ajang silaturahmi. Beberapa lomba-lomba yang ada di antaranya: lomba membawa kelereng, lomba balap balon, topi kail, memasukan paku dalam botol dan estafet karet gelang. Karena banyak hadiah yang diperebutkan kami pun tak kalah untuk ambil bagian.

Menurut Pak Imam, Koordinator TPQ lomba tersebut diadakan agar sesama anggota saling kompak dan semangat berpartisipasi. Karena momen tersebut sangat langka maka kami pun antusias mewakili TPQ Roudlatul Athfal Mojosari pimpinan Ibu Hj Roudhoh. Di sana kami bersaing dengan TPQ lain salah satunya adalah tuan rumah yaitu TPQ Darun Najah Balerejo.

Setelah usai lomba-lomba barulah acara seremonial dilaksanakan. Acara diawali dengan pembukaan, menyampaikan lagu Indonesia Raya, mars Subbanul Wathan dan mars TPQ an Nahdliyah. Setelah itu sambutan-sambutan. Adapun sambutan diawali oleh Bapak Ustadz Markoni (tuan rumah), Bapak H Nurkholis (Ketua MWC NU Kauman), Bapak H Imam Ashari (Ketua LP Ma'arif NU Kauman dan diakhiri dengan doa.

Di akhir sesi ada catatan yang saya dapatkan yaitu bahwa guru-guru TPQ itu tidak usah risau dengan gaji biarkan pahala dari Allah akibat perjuangan lebih mulia dari sekadar uang. Maka dari itu keikhlasan guru TPQ adalah keberhasilan dalam pendidikan anak. Acara ini pun usai dengan diakhiri foto bersama dan bersantap nasi kebuli. Setelah itu para hadirin diperkenankan untuk pulang ke rumah masing-masing.[]

the woks institute l rumah peradaban 15/8/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde