Langsung ke konten utama

Review Buku Sudut Pandang




Woko Utoro

Setiap orang memiliki sudut pandang dalam melihat sebuah peristiwa. Termasuk setiap orang memiliki cara untuk menafsirkan, menerjemahkan serta menilai sesuatu berdasarkan kualifikasi pengetahuannya. Di sinilah seringnya melahirkan polemik akan perbedaan sudut pandang, salah tafsir, atau fallacy. Akan tetapi perbedaan itulah yang jika didudukkan di ranah akademik ilmiah menjadi sesuatu yang perlu dirayakan.

Buku Sudut Pandang (2023) karya teman-teman Diskursus Institute ini barangkali merupakan hasil dari merayakan pikiran. Buku yang terdiri dari 6 bagian dan memuat 23 tulisan tersebut sebenarnya bagian dari laman web Diskursus Institute. Akan tetapi bagi pembaca budiman tentu versi buku lebih menyenangkan untuk dibaca. Buku yang ditulis dengan begitu ringan dan syarat akan berbagai data ini cocok dibaca di saat santai.

Dalam buku ini kita akan dapati berbagai sudut pandang mulai dari tema politik, pendidikan, budaya, agama, ekonomi dan teknologi. Tentu jika membaca buku serupa Sudut Pandang kita ingat perdebatan menarik ketika pandemi melanda Indonesia kurun waktu 2020-2021. Goenawan Mohamad menyusun Polemik Sains sekitar 340 halaman dari berbagai sudut pandang.

Tentu buku ini menarik selain ditulis oleh para ahli juga ditulis dari sudut pandang masing-masing. Misalnya kita ingat Goenawan Mohamad menulis berdasarkan teori kebudayaan, AS Laksana, budaya dan sosiologi, Ulil Abshar Abdalla analisis agama pendekatan Imam Ghozali, Nirwan Ahmad Arsuka sains & literatur, Taufiqurrahman, sains dan kajian kritis, F Budi Hardiman, sains dan filsafat serta banyak tokoh lainnya.

Menjauh dari tokoh-tokoh di atas dalam buku Sudut Pandang kita juga akan memahami misalnya terjadinya polarisasi di masyarakat pasca pemilu ternyata akibat media sosial yang keruh. Keberislaman menjadi garang, kebenaran dan berita bohong tidak bisa dibendung bahkan sulit dibedakan. Jean Baudrillard menyebutnya dengan fenomena membludaknya informasi tapi masyarakat kita miskin secara maknawi. hlm 3.

Fenomena di media sosial serta ketegangan pada Pilpres 2015 dan Pilgub 2019 tak luput dibahas dalam buku ini. Selain masalah teknologi buku ini juga memuat tulisan berkaitan dengan tradisi dan budaya. Misalnya yang menarik adalah tentang honor killing. Tragedi honor killing memang fakta adanya di mana seseorang menghalalkan pembunuhan atas nama sterilisasi nama baik dalam sebuah komunitas adat. Salah satu akar mengapa honor killing terjadi yaitu akibat corak patriarki yang mengakar kuat di masyarakat bahkan mampu mengontrol atas seksualitas perempuan. hlm 95.

Demikianlah beberapa hal menarik dalam buku Sudut Pandang. Barangkali kita juga perlu untuk menuliskan setiap sudut pandang dalam menilai dunia yang kompleks ini. Salah satu hal menarik tentu bagaimana mendudukan agama dan budaya yang dalam istilah Prof Ngainun Naim, terjadi relasi sepanjang masa. Selamat membaca.[]

Judul : Sudut Pandang (Kontestasi Wacana Keagamaan dan Potret Kebudayaan di Indonesia)
Editor : Saiful Mustofa
Halaman : 147 hlm
Penerbit : Diskursus Institute
ISBN : 978-623-5419-97-8

the woks institute l rumah peradaban 31/8/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde