Langsung ke konten utama

Sebuah Kitab Untuk Anakku




Woko Utoro

"Jika untuk anak jangan coba-coba" -Iklan

Mungkin sudah tidak asing dengan kata-kata di atas. Kata-kata dari sebuah iklan minyak telon tersebut mengandung makna bahwa orang tua selalu memiliki prioritas khusus untuk anaknya. Sejak lama memang demikian bahwa anak adalah segalanya. Karena anaklah para orang tua rela berkorban. Soal pendidikan misalnya para orang tua tidak asal dalam memilih. Sebab anak dan pendidikan merupakan aset masa depan.

Kemarin ketika saya membeli kitab di toko Al Hidayah Kalangbret. Saya bertemu dengan seorang bapak dengan pakaian kaos partai disertai topi hitam nan lusuh. Ketika saya tanya mau apa ternyata beliau ingin membeli kitab Syamail Muhammadiyah untuk anaknya. Saya pun akhirnya terlibat dialog dengan beliau. Beliau bercerita bahwa anaknya sudah kelas 2 di Pondok Pesantren Al Fatahiyah Ngranti pimpinan KH Anang Muhsin.

Ketika di toko tersebut beliau nampak bingung seperti apa kitab Syamail Muhammadiyah, harga dan bagaimana perbedaannya. Bahkan untuk melafalkan kata "Syamail" beliau nampak kesulitan. Saya lalu membantu dan menjelaskan bahwa kitab Syamail Muhammadiyah adalah buah karya Imam Tirmidzi atau nama lengkapnya Imam al-Hafizh Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak as-Sulami at-Tirmizi (w. 892 M). Kitab Syamail Muhammadiyah terdapat syarah dan matanya. Kitab tersebut berisi hadits-hadits yang menggambarkan Kanjeng Nabi Muhammad SAW secara lebih dekat.

Saya juga menjelaskan bahwa kitab tersebut sangat cocok untuk dipelajari jika ingin mengenal Kanjeng Nabi Muhammad SAW dari sisi basyariah. Kitab yang melihat Nabi Muhammad SAW dengan detail seperti bentuk tubuh, wajah, rambut, tangan sampai cara berpakaian, makan, berjalan, berkata, hingga interaksi bersama keluarga dan sahabatnya. Dari penjelasan singkat sang bapak hanya manggut-manggut saja.

Setelah itu yang membuat saya kaget beliau membeli kitab dengan uang pas-pasan. Uang tersebut pun berada dalam saku kresek putih bersama setumpuk tembakau. Ternyata bapak itu pun hanyalah seorang tukang becak. Beliau bekerja tiap hari menunggu penumpang dan menawarkan jasa antar jemput barang di pasar. Kata beliau saya lakukan ini semua demi anak. Ia berharap anaknya kelak akan menjadi orang pandai dalam agama. Jangan sama seperti dirinya yang bekerja sebagai tukang becak.

Sebelum pertemuan usai saya pun memberikan dorongan bahwa harapan bapak pasti akan terkabul. Karena doa dari orang tua yang tulus mudah untuk meluluhkan sang pemilik arsy. Ketika kami berpisah tak lupa saya mencium tangan beliau. Tangan yang berjuang demi kebaikan anaknya. Bekerja siang malam demi kemuliaan. Yang membuat saya adem beliau adalah kawan akrab Mbah Kiai Abdul Kholiq dan juga seorang santri kuliah shubuh. Kuliah shubuh yang merupakan kegiatan ngaji ba'da shubuh warisan Mbah Fatah, Mbah Khobir Pondok Menoro.[]

the woks institute l rumah peradaban 27/8/23

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde