Langsung ke konten utama

Mahasiswa FUAD di Tengah Jalan Berliku




Woko Utoro

Yudisium ke-36 mahasiswa FUAD tahun ini menarik terlebih ketika melihat narasumbernya. Ya, narasumber pada pelaksanaan yudisium kali ini adalah Dr. Ghozi, Lc., M.Fil.I. Beliau akademisi tulen alumni dari Fakultas Ushuluddin. Karena alasan alumni Ushuluddin itulah akhirnya beliau memberikan pesan seperti halnya kepada teman sendiri. Beliau lebih memilih sharing daripada disebut menyampaikan orasi ilmiah.

Singkatnya dalam yudisium kali ini saya mencatat beberapa hal menarik di antaranya: Alumni FUAD itu harus optimis menghadapi masa depan dengan bersandar pada kajian aqidah. Karena dengan aqidah yang kuat maka seseorang tak mudah goyah sekalipun zaman silih berganti. Alumni FUAD justru memiliki banyak peluang melewati segala tantangan utamanya di era distrupsi.

Keunggulan menjadi alumni FUAD adalah bagaimana mahasiswa mampu mengelola persepsi hidup. Dewasa ini apa yang kita hadapi salah satunya hanya soal persepsi. Bagaimana kita memposisikan pekerjaan, jabatan, uang, ilmu menjadi sesuatu yang perlu diperjuangkan. Akan tetapi tidak melupakan tugas utama mengabdi pada agama. Di sinilah pentingnya kita mempelajari filsafat, psikologi, sastra hingga tasawuf. Sehingga hidup selalu optimis dan tidak mudah minder.

Selanjutnya khidmah, atau pengabdian medannya sangat luas. Kita bisa mengambil peran di manapun. Kata beliau hidup ini pilihan, misalnya soal dunia kerja apakah kita ingin kerja sesuai, apakah kerja seadanya, apakah yang penting kerja atau membuka lapangan kerja. Toh semua hal dalam hidup penuh resiko. Tinggal bagaimana sikap mental kita dipersiapkan untuk menjawab resiko tersebut. Selanjutnya membangun rekognisi, dan citra diri.

Rekognisi merupakan sebuah pengakuan dari khalayak. Salah satunya bisa digapai dari citra diri. Alumni FUAD yang terkenal akan kajian keilmuan tentu harus selaras dengan keadaan masyarakat saat ini. Di mana masyarakat digital mengharuskan bahwa penampilan adalah hal utama. Akan tetapi lebih penting lagi membangun citra diri berdasarkan kualitas yang bersifat esensi. Sehingga dengan begitu alumni FUAD bisa bersaing di kancah manapun.

Dr Ghozi yang namanya mirip penulis Kitab Fathul Qarib Mujib itu memberikan pondasi bahwa alumni FUAD harus kuat dalam hal aqidah, pemikiran dan keilmuan. Karena hal-hal tersebut menentukan kualitas diri. Selain itu tantangan ke depannya alumni FUAD akan menghadapi bonus demografi sekaligus problem manusia modern berkaitan dengan kehilangan identitas diri, kerapuhan memanage emosi dan tidak tau ke mana akan bermuara alias kekeringan spiritual. Maka dari itu penting rasanya memadukan ilmu, ilmiah amaliyah sebagai bekal mengarungi kehidupan.[]

the woks institute l rumah peradaban 25/8/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde