Langsung ke konten utama

Suara Cinta




Woko Utoro 

"Cinta adalah asasku". -Kanjeng Nabi Muhammad SAW

Kalimat pembuka dari Kanjeng Nabi Muhammad SAW tersebut menyiratkan bahwa cinta adalah pondasi hidup. Barangsiapa yang menjadikan cinta sebagai lokomotif utama maka hidupnya akan terarah. Lantas kita bertanya bagaimana menempatkan cinta sebagaimana mestinya. Karena tidak setiap orang mampu memahami bahasa cinta.

Suara cinta memang tergambar lembut namun tegas. Cinta adalah suara tanpa rupa tapi bisa dirasakan. Cinta merupakan sikap yang hanya dipahami oleh rasa. Cinta sulit dibahasakan dengan kata-kata. Karena kata-kata cinta tak akan dipahami apalagi jika masih mengandung logika. Bukan berarti cinta tak butuh logika tapi lebih tepatnya membutuhkan perangkat lain termasuk hati. Hati yang sering terasah akan mudah menangkap isyarat cinta. Sedangkan hati yang kotor tak akan pernah merasakan lezatnya cinta.

Terlalu banyak kisah ataupun suku kata yang terus mencoba merapal apa itu cinta. Apakah cinta itu sekadar memikirkan yang dicintai atau 'asyiq dan ma'syuq, perindu dan yang dirindui. Ataukah cinta itu hubungan saling memiliki satu sama lain. Ataukah cinta itu sekumpulan persembahan dan pengorbanan. Yang jelas cinta memiliki medan yang sangat luas. Cinta merasuk ke segala arah dan bahkan terdapat di mana saja. Manifestasi Tuhan dalam penciptaan tak lain karena cinta. Jika tanpa cinta rasanya tak akan ada mahluk.

Cinta memang bentuk creation tertinggi. Atas dasar cinta itulah hidup begitu berwarna. Bahkan hukuman sebenarnya dapat dimaknai sebagai cinta walaupun terkadang terasa perih. Cinta dalam bentuk apapun sebenarnya berfungsi untuk mendidik. Tapi kita perlu tahu bahwa sifat Jalaliyah lebih sedikit ketimbang Jamaliyah nya sehingga tak usah khawatir. Sifat-sifat itulah sebenarnya menginduk dari cinta. Cinta Tuhan adalah Rahmat nya yang luas. Maka tak salah jika salah satu sufi besar seperti Rabiah Adawiyah memilih maqam mahabbah (cinta) sebagai jalan utama penempuhan.

Nafas para pecinta memang selalu mewangi dan tak bisa berbohong. Cinta selalu mengajak pada kejujuran dan kejernihan. Kendati dari cinta bisa membuat orang menjadi gila. Tapi bagi Rumi cinta justru membuat manusia memiliki kesadaran transformatif. Cinta adalah penyatuan. Cinta mampu mengikis ego karena cinta memang bukan sekumpulan kalkulasi. Cinta itu merambah ke dimensi universal. Cinta tidak bisa dibatasi oleh apapun. Cinta selalu mengajak mengingat dan tak mau melupakan.

Terakhir bagaimana agar cinta menjadi laku hidup. Sederhana saja jika kita menjadikan cinta sebagai kendaraan meraih rindhoNya. Maka jadikan cinta kasih kepada sesama sebagai metode aplikatif. Karena kata Nabi Muhammad beliau akan bersama orang-orang yang terpinggirkan. Hal itu juga senada dengan dialog Allah dan Nabi Musa tentang kecintaan kepadanya. Bahwa amal pribadi sejatinya hanya untuk diri sendiri. Sedangkan memasukkan kebahagiaan pada orang lain adalah amalan kesukaanNya. Cintailah yang di bumi niscaya di langit akan mencintai.[]

the woks institute l rumah peradaban 20/8/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde