Langsung ke konten utama

Utamakan Adab




Woko Utoro

Kita tau saat ini kata peradaban sedang naik daun. Seolah-olah ingin menegaskan kembali bahwa peradaban adalah warisan besar, budaya luhur atau peninggalan tak ternilai. Sehingga kata peradaban selalu digaungkan di setiap kesempatan. Tapi apakah peradaban dimaknai sedemikian besar.

Saya tidak ingin terjebak pada hal-hal kabur yang ternyata kita sendiri tidak tahu maknanya. Yang jelas peradaban berasal dari lema adab atau derivasi dari kata dasar adab. Lebih lengkapnya peradaban berasal dari kata “adab” yang berarti sopan santun, berbudi pekerti, luhur, mulia, atau berakhlak, yang seluruhnya merujuk pada sifat yang tinggi dan mulia. Sederhananya bahwa jika ingin menggapai peradaban maka perbaiki dulu adab. Barulah ketika karakter dasar sudah dikuasai peradaban bisa diraih atau setidaknya dihidupkan kembali.

Bicara peradaban besar terlalu jauh mari kita menariknya pada sesuatu yang kecil namun sering dilupakan. Perihal adab kadang hanya soal sesuatu yang remeh tapi kita mudah menyepelekannya. Misalnya di suatu arena majelis sholawat banyak ditemui sampah lemek (tikar dari plastik) yang berserakan. Jika orang beradab maka berpikir bagaimana limbah yang selepas digunakan itu bisa dibuang ke tempat sampah. Tapi fakta di lapangan pembiaran begitu saja sangat mudah dijumpai. Terlebih orang-orang menyandarkan pada panitia.

Contoh lain, misalnya di sebuah acara lomba khususnya anak-anak. Banyak di kalangan guru yang tidak mencontohkan bagaimana peserta untuk bersalaman minimal kepada orang sepuh di sana. Banyak di antara mereka selepas acara langsung pulang tanpa berpamitan. Kadang kita berpikir demikian bahwa ada yang lebih penting dari sekadar mengikuti lomba yaitu membiasakan anak untuk sadar akan lingkungan salah satunya perihal salaman. Inilah yang disebut peradaban, dan kita lupa soal adab tersebut.

Ibnu Khaldun bapak peradaban Islam menitikberatkan peradaban pada temuan indah namun dibangun dalam sistem etika. Hal itu juga diamini oleh Koentjaraningrat bahwa peradaban adalah kebudayaan yang halus, maju dan indah, seperti kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan santun, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan, kebudayaan yang memiliki sistem teknologi, maju dan kompleks. Dari dua pakar tersebut sangat jelas bahwa peradaban yang disandarkan pada sistem etika moral akan jauh lebih awet daripada sekadar konstruks modernitas dengan kecanggihan teknologi tapi mudah melenakan.

Jika kita belajar sejarah kebudayaan Islam maka salah satu hal yang wajib dikenang dari warisan Kanjeng Nabi Muhammad SAW adalah peradaban adab. Nabi Muhammad SAW tidak membangun bangunan super atau simbol-simbol kebanggaan selain akhlak yang luhur (khuluq al adhim). Jadi sangat jelas bahwa peradaban besar justru tercipta dari adab atau moralitas yang menitis ke dalam laku hidup sehari-hari. Selanjutnya wali songo tokoh menyebar Islam di Indonesia apa yang kita kenang selain warisan berupa tradisi adiluhung, kaya akan makna dan falsafah hidup. Dan hal itulah lebih utama sebagai kearifan yang menunjukkan kepada jalan kebenaran.

Pendidikan yang kita ketahui sebenarnya juga memiliki output manusia bahagia dan beradab. Jika tidak beradab maka pendidikan disebut gagal. Di sinilah yang perlu diperhatikan oleh para pengelola dan pengampu kebijakan. Bahwa adab lebih diunggulkan daripada ilmu. KH Chalwani menyebutkan mengapa adab harus lebih unggul dari ilmu. Karena jika sekadar pengetahuan maka syeitan lebih pintar akan tetapi tidak berakhlak. Sedangkan orang berakhlak lebih utama walaupun mereka tidak pintar.

Fungsi adab inilah yang sesungguhnya sangat penting dalam membangun peradaban. Bagaimanapun juga peradaban adalah infrastruktur sedangkan adab yang merawatnya. Tanpa sikap dan karakter luhur peradaban sebesar apapun akar runtuh. Contoh sederhana adalah keruntuhan Ottoman di Turki tak lain karena faktor eksternal juga akibat faktor internal, terkikisnya budaya bangsa.

Dalam hal ini kita perlu mencermati pandangan akan hilirisasi kebudayaan ala Nirwan Ahmad Arsuka atau mengelola social kapital ala KH Said Aqil Siradj. Bagi Nirwan seperti halnya fungsi ekonomi dan politik sungguh kebudayaan jauh lebih penting diarusutamakan sebelum orang-orang melupakannya. Lain lagi dengan KH Said bahwa kearifan di masyarakat itu sangat kaya dan jika hal itu bisa dikelola dengan baik. Maka westernisasi atau globalisasi sekalipun bisa dibendung asalkan kita tetap setiap merawat warisan luhur bangsa sendiri.[]

the woks institute l rumah peradaban 9/8/23

Komentar

  1. Leres kang. membersihkan tempat setelah acara selesai sebagai wujud membiasakn diri agar menjadi mnusia yg beradab. 🙂

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde