Langsung ke konten utama

Perihal Kemiskinan




Woko Utoro

Membincang kemiskinan memang menarik. Saking menariknya sampai-sampai syair, lagu atau karikatur lahir dari tema tersebut. Sejak dulu kemiskinan belum juga hilang. Dalam sejarah belum ada cara bagaimana menyelesaikan problem sosial tersebut. Tapi bagaimanapun juga kemiskinan itu unik. Bahkan fenomena saat ini ketika bantuan sosial cair setiap orang mengaku miskin.

Gegara kemiskinan kementerian sosial didirikan. Tujuannya sederhana agar melihat ciri khas bangsa secara lebih dekat. Miskin memang unik karena menjadi problem sekaligus solusi. Miskin selalu memiliki dualitas di mana pemerintah mencari mereka sebagai objek kesejahteraan. Di lain sisi kemiskinan adalah surga bagi orang kaya. Tanpa orang miskin kekayaan tak pernah bernilai. Bukankah surga orang kaya terletak di kaki kaum miskin.

Menjadi miskin memang menyedihkan. Tapi siapa juga yang hidupnya ingin miskin. Setiap orang pasti berpikir bagaimana menjadi kaya, sejahtera, memiliki berbagai macam benda koleksi dan segala hal pemuas dahaga nasfu. Setiap orang ingin bahagia tapi apakah kemiskinan bisa membeli bahagia. Rasanya kemiskinan itu memang derita. Bagaimana mungkin pemuda miskin bisa membeli cinta gadis cantik jelita. Justru kemiskinan hanya membuat minder. Kemiskinan hanya mengajak seseorang untuk sadar posisi. Sungguh malang memang kemiskinan tak bisa membuat orang percaya diri.

Walaupun faktanya demikian yang jelas masih ada orang bahagia dengan kemiskinan. Bagi sebagian orang, kemiskinan adalah jalan ninja. Miskin bukanlah aib yang harus disesali. Miskin adalah anugerah Tuhan atas segala ketetapanNya. Tinggal bagaimana kita menjalani dengan baik. Bukankah miskin dan kaya adalah peran. Jadi tak usahlah risau dengan kemiskinan. Kata orang bijak lebih baik miskin harta daripada miskin etika.

Secara hakikat kemiskinan memang bermakna luas. Bisa saja orang kaya tapi pelit dia tergolong miskin. Bisa saja orang berpangkat tapi sulit bayar bajak, dia juga disebut miskin. Atau orang miskin tapi dermawan maka ia tergolong orang kaya. Bisa juga orang biasa, makan pas-pasan tapi masih sempat memberi pinjaman pada orang lain yang membutuhkan maka ia kaya. Begitulah kata Bang Haji Rhoma Irama bahwa kaya atau miskin sejatinya hanyalah ujian. Orang kaya diuji dalam keberlimpahan maka apakah ia dermawan. Orang miskin diuji dalam kekurangan maka apakah ia lulus ujian kesabaran.

Lantas adakah solusi bagi kemiskinan. Misalnya orang mengatakan bahwa pendidikan adalah jalan untuk mengikis kemiskinan. Tapi bagaimana jika pendidikan tak mampu menyelamatkan kita dari kemiskinan. Perlu dipahami bahwa pendidikan bukan tentang kaya miskin melainkan tentang kekayaan hati dan pikiran. Dengan kekayaan hati dan pikiran sungguh hal itu melebihi sekadar materi. Terakhir jika kemiskinan adalah bagian dari hidup maka tak perlu disesali cukup dijalani dengan ikhlas. Karena keikhlasan adalah kekayaan yang sesungguhnya.[]

the woks institute l rumah peradaban 2/8/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde