Langsung ke konten utama

Bukber Online


Woks

Ramadhan kali ini begitu tampak berbeda. Bagi orang yang tak berperasaan pun pasti merasakan bahwa bulan ini tak seperti bulan ramadhan sebelumnya. Rasanya mungkin sedikit hambar bahkan terasa pahit. Ujian di bulan ini nampak ganda sehingga sampai di manakah letak kesanggupan kita melewati semua ini. Salah satu hal yang mungkin tahun ini hilang adalah fenomena buka bersama (bukber).

Saat sebelum negara api menyerang beberapa orang mungkin telah merencanakan bukber dengan apa, dengan siapa dan di mana bahkan kegiatan itu telah disusun sejak lama. Namun sayang Tuhan berkehendak lain. Semua ini seperti 99 persen usaha manusia akan tetapi bisa berubah hanya dengan 1 persen kehendakNya. Dulu kita juga sering berpikir jika suatu daerah yang jauh dari gunung, jauh dari laut dan tebing maka rasanya akan aman dari bencana, nyatanya semua pikiran itu salah. Justru di manapun tempatnya semua berpotensi memiliki bencana seperti banjir, kebakaran dan virus seperti saat ini.

Mari kita kembali ke topik. Jika keadaan tak seperti saat ini tentu kegiatan bukber menjamur di mana-mana, terutama oleh mereka yang mengatasnamakan keluarga besar, paguyuban, komunitas, organisasi dan kelompok lainya. Tak jarang juga kegiatan itu melibatkan para dhuafa, fuqara, orang miskin dan anak yatim. Tapi semua itu pupus sudah saat ini kita hanya bisa bukber online terutama bagi mereka orang yang sedang di perantauan. Membuka video call melihat senyum semringah dengan ditemani seonggok nasi putih plus es teh, lengkap dengan sambal dan lalapanya. Hal itu sudah lebih dari sekedar mewah.

Pada akhirnya jika pun bukber tidak sampai terjadi karena kita dilarang melakukan kegiatan yang berpotensi berkerumun tentu kegiatan itu bisa dialokasikan dengan donasi kepada yang membutuhkan. Tentu semua ini tetap mengandung hikmah khususnya bagi mereka yang jauh dari keluarga. Saat ini hampir semua orang dekat dengan keluarga dan mungkin itulah saatnya kita buka puasa bersama mereka. Saat-saat paling kudus adalah berkumpulnya seluruh keluarga. Semoga ini bagian dari kisah keluarga cemara yang nyata bahwa sesungguhnya keluarga adalah segalanya. Mari berbuka awali dengan semangat bahagia walau tidak ada yang manis-manisnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde