Langsung ke konten utama

Kyai Sholeh yang Shaleh


Woks

Beliau adalah kyai Mohammad Sholeh, orang-orang biasa memanggilnya pak Sholeh. Sampai hari ini ketawadhuan beliau begitu nampak salah satunya dengan tidak ingin dipanggil Abah atau kyai. Tapi para santri dan masyarakat sudah terlanjur memanggil itu sebagai sebuah penghormatan pada beliau.

Beliau merupakan pengasuh Pondok Pesantren Himmatus Salamah Srigading Tulungagung. Sebelum menjadi pengasuh di pondok ini perjalanan hidup beliau begitu panjang dan getir. Singkatnya selepas beliau mondok di al Falah Ploso asuhan KH Zainuddin Djazuli beliau langsung menikah dengan salah satu santriwati (Ibu Nyai Nita) dan dikaruniai 3 orang putra (Gus Alba, Gus Bawie, dan Gus Abid). Lalu beliau tinggal di rumah orang tuanya di daerah Selojeneng Sumberdadi Sumbergempol Tulungagung. Tidak lama di sana beliau langsung mondok lagi dan menjadi abdi ndalem KH Zainuddin, begitu pula dengan istri beliau yaitu mondok di PP. al Falah Trenceng Sumbergempol Tulungagung asuhan KH Arsyad.

Saat orang tua beliau meninggal maka beliau kembali mendiami rumah milik orang tua tersebut hingga memiliki anak. Saat semua berjalan apa adanya saat itulah ujian datang. Tiba-tiba tanpa sepengetahuan beliau salah seorang adik beliau menjual rumah dan tanah milik orang tuanya tersebut untuk pergi ke Malaysia. Hingga akhirnya mengharuskan beliau dan keluarga keluar dari rumah tersebut. Suasana kebingungan tentu menyelimuti hati beliau. Sebab yang beliau pikirkan adalah anak-anak yang masih kecil-kecil. Akhirnya beliau mencari pinjaman uang untuk segera mencari kontrakan sebagai tempat tinggal.

Allah swt mungkin tidak diam. Doa-doa beliau mungkin langsung di dengarNya. Saat beliau mencari uang pinjaman tersebut beliau dikenalkan dengan seorang tokoh di Plosokandang bernama H. Salim atau orang memanggilnya dengan pak Slamet. Menurut penuturan beliau pak Slamet saat pertama bertemu beliau kesannya begitu istimewa hingga akhirnya beliau diajak pak Slamet meninjau lokasi TPQ Himmatus Salamah (kelak menjadi pesantren). Karena pak Slamet tau bahwa pak Sholeh adalah alumni dari Ploso akhirnya beliau menawari untuk tinggal menetap sekaligus mengajari anak-anak mengaji di pondok itu. Hingga sampai hari ini beliau dan keluarga menetap tinggal di sana sambil mengasuh para santri. Warisan pondok tersebut kini resmi di bawah asuhan pak Sholeh. Karena sekitar dua tahun lalu pak H. Slamet meninggal dunia saat menunaikan ibadah haji yang ke dua. Beliau di makamkan di pekuburan Baqi Mekah al Mukaromah.

Mungkin tidak salah pak H. Slamet memilih pak Sholeh untuk mengasuh pondok. Sebab beliau memang orang yang sabar dalam memimpin santri-santrinya. Kesabaran beliau begitu tinggi bahkan sampai dirundung masalah berat sekalipun beliau tetap berdiri kokoh. Sebab beliau telah paham bahwa semakin tinggi derajat seseorang maka cobaan hidup akan berat pula termasuk menghadapi masyarakat yang tidak suka dengan keberadaan pondok.

Beliau sebenarnya tidak berpikir akan menjadi kyai dan mengasuh pesantren. Cuma beliau ingat pesan kyainya dulu bahwa nanti kamu akan punya pesantren, dan ternyata dugaan itu benar adanya. Beliau termasuk tipikal orang yang rendah hati, tidak pernah marah, bisa mengerti orang lain dan selalu dekat dengan santri. Tidak jarang sering beliau jagongan di kamar santri, bahkan pakaian keseharianya pun begitu sederhana. Beliau juga termasuk orang yang menyukai sholawat al Barjanzi sehingga tidak aneh jika setiap malam rabu pengamalan sholawat itu menjadi amaliah sehari-hari.

Sehat trus pak kyai Sholeh kami para santri akan terus berjuang mengikuti dawuh-dawuh bijakmu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde