Langsung ke konten utama

Menyambut Hari Kemenangan


Woks

Hari kemenangan sudah di depan mata. Hari di mana orang-orang telah menunggunya sejak satu bulan lalu. Menunggu saat-saat puasa harus menemui ujung dan hari nan fitri itu kembali. Suasana pun nampak berbeda pastinya. Jalanan begitu lengang, bangunan pun bersolek dan orang semakin giat beribadah. Maklum hari terasa penghabisan sehingga apalagi yang dapat disuguhkan selain rasa bahagia telah melewati satu bulan penuh berpuasa. Mungkin kesedihan hanya terjadi pada segelintir orang saja, selebihnya apa pula yang perlu ditangisi. Hidup akan terus berjalan apa adanya sekalipun dalam masa pandemi. Anggap saja kini orang yang terus berusaha memperbaiki diri adalah golongan orang-orang yang menang. Mereka telah melewati berbagai rintangan dan kini saatnya menempati garis finish dan tentu akan menuju ke garis finish yang lainya.

Menang tanpa lomba itu mustahil sebab selama ini kita telah diperintahkan bahwa setiap ramadhan ada ritualitas ibadah yang harus dikerjakan oleh umat muslim seperti kesunnahan qiyamul lail, wajibnya puasa dan zakat, serta amaliyah lainya sebagai penunjang ibadah yang diwajibkan. Tapi hari kemenangan tahun ini diprediksi bakal menjadi momen yang ambyar. Sebab tahun ini kita harus selalu jaga jarak, dilarang berkerumun, dilarang berkunjung dan larangan lain dengan alasan keamanan demi memutus mata rantai Covid-19.

Hari kemenangan tahun ini akan terasa berbeda karena kita sedang merasakan hal yang sama yaitu terkena dampak menyebaran Covid-19 yang makin hari semakin masif. Sehingga tradisi halalbihalal yang tiap tahun dilaksanakan setelah shalat idul fitri akan sedikit terganggu bahkan bisa jadi ditiadakan. Alternatifnya tentu pemanfaatan media menjadi hal yang utama. Kita memang hanya bisa saling bertatap muka lewat monitor. Mendengar setiap maaf, merasakan setiap keluh kesah dan berbagi canda tawa dalam setiap tarikan nafas. Mungkin inilah fase di mana kita akan menghadapi keadaan new normal. Maka bersiap-siap saja. Semoga kita kuat melewatinya.

Kondisi seperti ini mungkin alam tengah mengajari kita untuk terus berpikir ulang atas apa yang selama ini kita lakukan. Melihat kembali pola hidup manusia hingga  pandemi seperti ini bisa terlahir. Atau memang ini adalah alamiah, cara alam menyeimbangkan kehidupan. Sedangkan manusia tak ubahnya robot yang terus bekerja tanpa pernah kenal istirahat. Maka bisa jadi alam tengah memberi pengajaran bahwa dirinya sudah tua dan mulai sakit-sakitan. Mungkin saja pandemi seperti ini di masa depan bisa terjadi lagi. Sehingga manusia dituntut untuk eling lan waspada terhadap gejala dan tanda-tanda nya.

Kemenangan yang tinggal hitungan hari itu mengajak kita berpikir bijak apakah pakaian baru masih perlu untuk dikenakan. Apakah masih pantas membicarakan kedudukan dan apakah masih ada jalan-jalan pintas untuk membanggakan amal. Rasanya semua itu tidak berlaku, sebab kemenangan bukan tentang mereka yang sukses dalam materiil tapi mereka yang terus berusaha menempa diri dalam ibadah dan kesyukuran. Tanpa itu semua kemenangan hanya omong kosong tak syarat makna.

Gema takbir akan kita dengar lagi. Suara yang berharap menjadikan manusia suci kembali atas segala hilaf dan dosa. Layaknya daun yang di makan ulat lalu tangkai yang lain menumbuhkan pucuk muda yang baru. Apalagi yang ditunggu, kini saatnya menyambut kemenangan dengan suka cita. Tanpa perlu berpestapora yang glamor dan justru malah melupakan diri. Kita hanya perlu menghidupi malam hari raya dengan penuh syukur serta terus introspeksi bahwa diri ini belum benar-benar baik. Bahkan untuk sekedar bermanfaat bagi orang lain pun masih jauh dari harapan. Maka sepantasnya lah kita kata Ebiet G Ade, "bercermin dan banyaklah bercermin. Mumpung kita masih diberi waktu". 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde