Langsung ke konten utama

Lebaran di Kampung Orang


Woks

Ramadhan tahun ini memang begitu berbeda dari tahun sebelumnya. Tahun di mana kita merasakan hal yang sama yaitu beribadah di tengah pandemi. Merasakan saat-saat khusyuk bersamaNya tanpa seremonial keramaian. Memang hampir dua bulan lebih dunia terasa terbalik. Akan tetapi mau protes kepada siapa, selain lakukan saja yang terbaik. Dunia mungkin hanya sedang ingin istirahat sejenak dari hiruk-pikuk yang seperti robot ini. Jadi jangan aneh jika seluruh mahluk termasuk manusia sedang berlomba-lomba bertahan dalam ujianya.

Bagi perantau seperti saya kini tengah menerima kenyataan bahwa tahun ini kita tidak bisa mudik/pulang kampung atau apalah istilahnya. Yang jelas kini kita belum bisa bertemu keluarga kecuali sesekali melalui layar monitor HP. Saya tidak peduli sudah seberapa lama dan sejauh mana saya di negeri orang, yang jelas semua itu terasa sesak di dada. Menahan rasa rindu memang sama-sama tidak menyenangkannya. Sehingga kata Eka Kurniawan seperti halnya dendam rindu juga harus segera terbalaskan.

Tapi saya sadari bahwa ini sudah menjadi suratan takdir. Saya tidak boleh egois. Saya hanya perlu lebih bersabar lagi dengan durasi yang agak lama. Pada akhirnya muaranya demi keselamatan bersama. Saya lebih menurut kepada keadaan daripada harus menuruti nafsu. Dalam hati kecil mudik adalah tujuan utama namun dalam pikiran ada yang lebih baik dari rutinitas tiap tahun itu yaitu berdiam untuk keamanan. Ya saya mencoba untuk tidak mudik sesuai anjuran pemerintah dan saya juga menghormati orang di sekitar rumah agar tidak resah karena tidak kedatangan orang dari luar.

Akhirnya saya memutuskan untuk bertahan di sini, terombang-ambing bersama sepi, terhanyut bersama sunyi dan tentunya terdiam bisu sendiri. Dalam suasana itu saya mencoba kuat dan tegar. Bahkan sesekali angin membawa aroma masakan ibu. Masakan yang setiap anak akan selalu ingat bahwa rasa khasnya menuntun untuk kembali. Belum lagi suara cangkul yang beradu dengan tanah mengingatkan tentang bapak yang selalu bekerja keras di sawah. Atau juga sesekali mendengar coletahan adik dan keponakan baru.

Sebenarnya lebaran di kampung halaman dan di kampung orang sama saja, akan tetapi yang membedakan adalah rasa dalam batin. Di mana-mana mercon, takbir, salam-salaman dan tradisi hampir sama, namun lagi-lagi perbedaan terletak dari dalam. Hati terasa meraung-raung ingin segera kembali, ya mungkin untuk sekedar bersimpuh di hadapan orang tua. Memintakan maafnya karena selama ini saya belum bisa membahagiakan mereka. Tapi saat ini mungkin media salah satu cara menyampaikan maaf itu.

Di sini keadaan sedikit memprihatinkan, bagaimana sepanjang jalan-jalan kecil ditutup portal. Di sana-sini orang dilarang masuk keluar. Semua itu katanya upaya untuk sterilisasi dari penyebaran Covid-19, nyatanya petugasnya pun melakukan kerumunan setiap harinya. Di sini tak ubahnya di media keadaan selalu mencekam karena update jumlah positif Covid-19 selalu saja disebar. Sehingga orang-orang selalu khawatir dengan kondisi tersebut, tak terkecuali perantau seperti kami.

Walau kondisi demikian setidaknya saya masih bisa tersenyum karena masih banyak kawan-kawan yang peduli, ya minimal memberi semangat agar tetap kuat melewati semua keadaan ini. Saking ibanya memang beberapa orang rela memberikan beras, uang, sarung sampai tumpangan untuk menginap di rumahnya. Sungguh hal itu membuat saya haru, sehingga saya serasa tidak sendiri. Saya merasa bahwa orang lain adalah keluarga kedua yang tentunya saya banyak berhutang budi dengan mereka. Mereka benar-benar menguatkan psikologis saya.

Saat ini memang bukan saatnya sedih meratapi nasib tak bersama keluarga. Sekarang saatnya bersyukur sebab Allah SWT telah memberikan kita kepercayaan masih sehat, waras, panjang umur, iman islam dan tentunya telah melewati ramadhan dengan penuh hikmat. Kini saatnya memohon maaf kepada semua atas salah, hilaf dan dosa. Sungguh hal yang paling mulia adalah meminta dan memberi maaf. Jika maaf dan salam-salaman adalah esensi dari lebaran berarti ibadah kita masih dalam level horizontal, seharusnya esensi yang tak kalah pentingnya yaitu bersihnya hati dan pikiran dari dorongan nafsu yang selama ini mencengkeram kita. Semoga Allah berkenan menerima amal baik kita semua dan kembali fitri. Selamat hari raya Idul Fitri 1441 H untuk dulur-dulur semua. Mohon maaf lahir batin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde