Woks
Sejak kecil saya mengenal istilah ngabuburit sebagai kata yang terlahir dari budaya Sunda, seperti halnya mudik dari bahasa Betawi dan Melayu. Sampai hari ini saya belum menemukan padanan kata ngabuburit seperti yang orang Sunda pahami. Selama ini kita pahami bahwa ngabuburit adalah istilah untuk mengartikan kegiatan menunggu berbuka puasa. Kegiatan itu tentu bisa bermacam-macam, seperti dulu orang ngusep (mancing), ngalogat (memaknai kitab), ngaji pasaran/pasan, ngasag (mencari sisa tanaman padi), ngangon/angon (menggembala) atau diam di masjid (i'tikaf) serta banyak lagi aktivitas menunggu berbuka.
Semakin hari di daerah saya sendiri kegiatan ngabuburit mengalami transformasi yaitu jalan-jalan. Sehingga bagi sebagian orang khususnya kawula muda ngabuburit itu harus berarti jalan-jalan. Entah dalam bentuk jalan dengan pasangan, melihat pemandangan atau berburu takjil untuk berbuka, pokok semua identik dengan hal itu. Saya sendiri tidak paham mengapa ngabuburit kini menjadi kehilangan makna tidak seperti dulu. Sejak dulu menunggu puasa yang ramai itu pasti masjid, tajug, kobong (asrama pondok) atau sekolah, kini yang ramai malah tempat hiburan, lapangan, perempatan dan aloon-aloon. Entah apa yang dilakukan saya tidak tahu, yang jelas bagi saya secara ontologis hal itu telah kehilangan makna.
Harus diakui memang, cara ngabuburit antar individu pasti berbeda demikian juga saya. Saat saya menyukai membaca buku saat itulah saya gunakan membaca sebagai sarana mengisi waktu menunggu magrib tiba. Bagi saya membaca bisa juga dengan tadarus al Qur'an, membaca kitab kuning, kitab putih atau menghafal nadhoman bisa juga menyimak siraman qolbu di media yang telah tersedia. Menurut saya membaca adalah sarana yang efektif, apalagi ramadhan merupakan bulan penempaan diri. Di sinilah kita siasati agar ramadhan terasa bermakna. Jadikan bulan puasa menjadi nampak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Salah satu hal agar perbedaan itu tampak yaitu dengan banyak membaca.
Bagi saya waktu dan membaca ibarat dua mata uang yang tak boleh dipisahkan. Kita mungkin bisa membeli sebanyak-banyaknya buku tapi kita belum tentu bisa membeli waktu luang untuk membacanya. Nah, ramadhan ini adalah salah satu waktu yang cocok untuk memperkaya diri dengan pengetahuan. Waktu yang penting buat kita memperkaya wawasan. Tujuanya sederhana yaitu agar hidup dipenuhi rutinitas yang berfaedah, tidak monoton dan hanya itu-itu saja.
Coba kita bayangkan tiap tahun, setiap puasa kita selalu dirisaukan dengan problematika, perbedaan, hukum, dan lainya soal puasa. Sehingga tiap tahun tersebut seolah-olah tak ada bedanya. Perubahan dalam tataran pikiran tak kunjung usai. Perdebatan perkara ikhtilaf jumlah rakaat, batal puasa, sampai penentuan lebaran masih terjadi di kalangan akar rumput. Mungkin salah satunya karena kekurangan bacaan. Padahal bahan bacaan tidak kurang jumlahnya, ditambah saat ini dengan kecanggihan teknologi bahan bacaan sangat mudah diakses. Bukan karena masifnya ceramah agama via audiovisual kita malah meniadakan aktivitas membaca, justru semakin banyak membaca malah semakin kita tahu dan paham di mana letak kekuranganya. Sehingga dalil normatif tidak mudah diamini secara total. Jika kita tahu saja tidak cukup, perlu namanya perbandingan untuk melihat sisi objektifnya. Andai saja masyarakat kita mengerti secara maknawi bahwa membaca itu penting niscaya kegiatan ini akan digandrungi layaknya di Jepang atau Islandia.
Semoga saja terutama generasi milenial bisa menaruh hati bahwa kegiatan membaca tidak hanya sebagai alternatif tapi menjadi sebuah kebutuhan. Saat ramadhan inilah kesempatan kita untuk terus membaca, terutama karangan ulama kita (Nusantara) yang begitu banyak. Mari saatnya berfikir waras di zaman edan ini. Dunia semakin tua dan arus airnya semakin deras mau kepada siapa lagi kita akan berpegangan erat selain kepada petunjuk jalanNya yang lurus dan penuh keridhoan. Budayakan membaca.
Komentar
Posting Komentar