Langsung ke konten utama

Cerita dari Desa Penghasil Susu Sapi


Woks

Hari keempat pasca lebaran saya dan seorang teman memberanikan diri untuk bersilaturahmi ke salah seorang kenalan teman saya saat KKN dulu. Sebenarnya saya paham bahwa keadaan seperti saat ini silaturahmi secara fisik tidak lebih baik dilakukan. Akan tetapi apa mau dikata kami juga tidak bisa menolak undangan dari tuan rumah untuk berkunjung ke sana.

Dengan mengendarai Vespa kami pun segera berselancar ke sana. Walau di tengah jalan sempat diguyur hujan setidaknya kami masih sanggup menembus jalananan licin sebelum hari semakin malam. Suasana alam yang indah sepanjang jalan cukup untuk memanjakan mata kami dari sumpeknya kehidupan di rumah saja. Sehingga momen perjalanan ini saya nikmati betul sebagai sebuah cara bertahan hidup dari balik sunyinya kehidupan. Terutama bagi saya tidak bisa mudik maka perjalanan ini adalah obat pelipur lara. Walaupun efeknya hanya sementara setidaknya saya sudah bahagia. Terbantu secara psikis untuk tetap kuat bertahan di tengah dunia yang terluka.

Desa tempat tujuan kami adalah Sengon, Geger Sendang Kabupaten Tulungagung. Di sana merupakan gugusan surga yang mana tanahnya subur dan peternakanya maju. Stok mata air melimpah, rerumputan menghijau dan sapi perah begitu banyak ditemui. Masyarakat begitu sejahtera saat berdampingan dengan alam. Mereka begitu bahagia menikmati anugerah besar dari Tuhan.

Singkat cerita kami pun sampai di sana dan disambut hangat oleh salah seorang pemilik rumah tempat yang kami tuju. Saat pertama datang seperti biasanya jajanan khas lebaran masih berjajar rapi dengan varianya yang berbeda, mulai dari panganan tradisional sampai makanan kalengan semua ada. Ditambah lagi sajian wedang jahe khas masyarakat pegunungan menghangatkan tubuh kami dari cuaca mendung sejak siang itu.

Akhirnya kami pun mendatangi satu persatu rumah tujuan untuk bersilaturahmi. Walaupun tradisi silaturahmi dibatasi karena penyebaran Covid-19 di desa itu tidak begitu berlaku. Pasalnya masih ada sebagian masyarakat yang tidak bisa menahan laju tradisi tersebut yang memang telah ada sejak lama. Secara alamiah masyarakat tidak bisa meninggalkan tradisi berkerumun karena mereka merupakan mahluk sosial. Akan tetapi dengan peraturan yang ada tradisi tersebut dalam beberapa hari ini nampak tidak begitu berjalan. Jalanan begitu sepi dan jajanan hanya dimakan sendiri. Yang saya khawatirkan jika keadaan ini terus berkelanjutan maka akan jadi tradisi baru yang tentu kontradiksi dengan tradisi positif sebelumnya. Sehingga masyarakat malah akan menjadi pribadi yang indivialistik.

Saat kami singgah disalah satu rumah tetangga kenalan teman saya itu. Kami mendapat cerita menarik bahwa di sini baru saja mendapat musibah fitnah yang mengharuskan keluarga beliau dikucilkan. Ceritanya ialah saat sebelum lebaran ibu si empunya rumah meninggal di rumah sakit. Lalu ada salah satu warga menerima berita bahwa si ibu tersebut positif Covid-19, padahal nyatanya tidak. Setelah dijelaskan oleh keluarga akhirnya masyarakat tetap tidak ada yang percaya. Karena berita sudah terlanjur tersebar maka keluarga akhirnya mengikhlaskan untuk memakamkan si ibu tersebut dengan tidak boleh di bawa ke rumah dan langsung dibawa ke pemakaman. Tentu kejadian itu bagi sang anak dari ibu tersebut menjadi kejadian yang menyayat hati. Sebelumnya dari pihak kelurahan sendiri belum mendapat informasi bahwa jenazah tersebut positif Covid-19. Karena berita hoax tersebut maka masyarakat sudah kadung terkena korban omongan tidak jelas. Yang lebih menyedihkan lagi kini keluarga tersebut dikucilkan dan masyarakat tidak mau mengikuti kegiatan yasin tahlil. Bagi keluarga hal ini tentu membuat kecewa dan rasa ingin marah kepada orang pertama yang menginfokan hal itu. Akan tetapi apa mau dikata nasi sudah menjadi bubur.

Memahamkan masyarakat yang tidak mengerti itu sangatlah sulit. Bahkan tidak jarang adanya tokoh masyarakat yang seharusnya digugu dan ditiru kini malah bisa dengan mudah dibantah. Maklum saja ada sebagian masyarakat yang fungsinya sebagai hatter. Mereka hanya ingin mencari-cari kesempatan untuk menebar keresahan. Tidak aneh orang dengan tipe ini memang pantas diberi gelar "Abu Jahal Modern". Betapa tidak, mereka melakukan sesuatu tanpa pernah ada rasionalisasi ilmiahnya contoh fungsi disinfektan dan APD mereka sendiri tidak mengerti apa guna dan cara penggunaanya. Pokoknya ya kaya orang lain, begitu jawabnya. Sehingga jika ada 10 orang seperti ini maka bubrahlah desa tersebut.

Berita hoax baik lisan maupun tulisan sama-sama berbahayanya dalam kehidupan sosial. Sebab berita itu tak akan mengerti perasaan orang lain. Bisa jadi si penyebar tidak terkena imbasnya tapi bagi korban stigama itu akan melekat terus selamanya. Maka memulihkan kembali stigma tersebut tentu membutuhkan waktu yang lama. Pastikan membutuhkan pula kontranarasi dari para tokoh untuk memahamkan masyarakat.

Akhirnya waktu pun telah malam dan kami pun segera pamit. Setelah kenyang dan puas mendengar berbagai cerita kami pun pulang dengan membawa dua botol susu segar dan satu plastik berisi tape ketan. Malam itu kami bergegas pulang untuk berlomba dari pekatnya kabut malam. Di sisi lain jalanan sunyi dan di setiap gang kecil sudah terpasang portal-portal. Hampir sampai kontrakan kami dibuat kejutan dengan mogoknya motor karena kehabisan bensin. Untunya kami berhenti pas 100 meter toko yang masih buka menyediakan bensin. Setelah itu kami pun melanjutkan perjalanan hingga sampai ke tempat tujuan. Hari itu akan kami ingat sebagai sebuah pelajaran berharga dari masyarakat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde