Langsung ke konten utama

Sarung


Woks

Dalam beberapa catatan menyebutkan bahwa sarung dikenal di Nusantara sekitar abad ke-14 oleh pada pedagang dari Arab dan Gujarat tapi ada yang menyebutkan berasal dari Yaman. Sarung merupakan sepotong kain yang berjahit pada kedua ujungnya sehingga membentuk seperti tabung.

Setiap lebaran kita akan mendapati orang jualan sarung di mana-mana, baik via online maupun offline.  Sebab sarung adalah salah satu busana khas yang bahkan kini seperti diklaim sebagai kekayaan Nusantara. Hal itu memang tidak salah karena lebih dari ratusan corak sarung tersebar dari berbagai wilayah di Nusantara. Bahkan kini model dan corak sarung lebih terlihat modern dan elegan. Sarung tidak menjadi komoditas lokal karena rasa tradisionalnya, kini karena kecanggihan teknologi tekstil sarung bisa merebut pasar internasional.

Dulu sarung merupakan alat yang gunakan sebagai perjuangan. Sarung sebagai sebuah alat untuk menentang budaya barat yang masuk ke Indonesia. Sarung juga sebagai simbol jadi diri bangsa yang harus dilestarikan. Maka tak salah saat masa perjuangan KH Wahab Chasbullah Tambakberas Jombang menggunakan sarung sebagai mediator, diplomasi, dan menghadiri pertemuan berskala lokal dan nasional. Beliau dengan percaya diri menunjukan bahwa santri dan sarung juga mampu tampil di muka umum tanpa harus malu menunduk.

Secara makna filosofis sarung berasal dari dua suku kata yaitu "sa" berarti segala macam hawa nafsu dan "rung' berarti dikurung. Maka makna orang memakai sarung harus mampu mengendalikan hawa nafsunya. Ia juga simbol bahwa manusia dididik untuk menjadi kader pemimpin yang sabar dan penuh penghayatan terhadap dimensi hidup di alam kosmologi ini.

Sekarang apakah anda siap pakai sarung? Keterangan terakhir menunjukkan bahwa sarung tidak bias jender, ia justru bisa dipakai oleh siapapun tanpa pernah melihat jenis kelamin. Sarung terbaik tentu yang terbuat dari bahan terbaik yang pastinya nyaman dikenakan. Yang paling penting harganya mahal. Jika masih berpikir mendapat sarung bagus dengan harga murah lebih baik berimajinasi saja yah. hehe

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde