Langsung ke konten utama

Merindukan Al Khidmah dan Haul Akbar Kedinding Surabaya


Woks

Sudah satu bulan lebih sejak ditetapkannya Covid-19 sebagai pandemi global kita telah dilupakan sejenak dengan segala hiruk pikuk aktivitas publik. Hari telah berganti dan bulan juga telah berganti semua telah terlewatkan seperti tanpa bekas. Tak ada peluru perang yang lebih halus dari Corona. Ia merasuk kepada siapa saja yang disukai, anak, tua, muda, bangsawan, publik figur, olahragawan bahkan ahli kesehatan semua tak luput menjadi korban Corona. Ia merasuk begitu dingin, halus, dan sangat menyulitkan hingga tak terasa telah banyak momen yang telah kita lewati dengan begitu sunyi.

Momen besar umat beragama seperti perayaan Nyepi, peringatan Isra Mi'raj, hingga Paskah begitu terasa berbeda. Mereka hanya bisa menyimak kepul-kepul doa dari balik kaca monitor tanpa terdengar hingar-bingarnya. Bahkan pendidikan sebagai jantung kehidupan rela dihentikan sejenak dan memilih merumahkanya. Menjenguk orang sakit sampai mengantar jenazah ke pemakaman harus berjarak. Padahal rasa sedih dan kehilangan tak pernah berjarak. Semua berjalan apa adanya walaupun raut wajah tak bisa dibohongi. Keadaan ini benar-benar telah menguras hati dan pikiran. Keramaian menjadi barang mahal sedangkan menjaga jarak dari kerumunan merupakan keharusan, tak terkecuali bagi jamaah al Khidmah yang masih menahan diri untuk menghadiri Haul Akbar Kedinding Surabaya.

Jamaah al Khidmah adalah sebutan bagi muriddin-muhibbin beliau Hadratus Syeikh KH Ahmad Asrori Al Ishaqy yang tak lain merupakan pendiri Majelis Dzikir wa Maulidurrasul al Khidmah. Beliau juga merupakan Mursyid Thariqoh Qadiriyah wa Naqsabandiyyah al Utsmaniyyah sekaligus pendiri Pondok Pesantren Assalafi Al Fitrah. Beliau juga merupakan putra Hadratus Syeikh KH Utsman Al Ishaqy yang nasabnya sampai Raden Ainul Yaqin atau Sunan Giri. Saya yakin hati para pecinta beliau kini sedang meraung-raung ingin segera bertemu. Sejak ditetapkanya Haul pada 28-29 Maret 2020 sampai hari ini kerinduan tersebut masih tertahan akibat wabah Corona. Padahal pada tanggal tersebut terop (tenda) sudah berdiri kokoh. Akhirnya panitia haul memutuskan untuk menunda acara tersebut sampai waktu benar-benar kondusif. 

Haul Akbar Kedinding Surabaya merupakan salah satu majelis haul terbesar di Indonesia yang selalu dirindukan setelah Haul Abah Guru Sekumpul (KH Muhammad Zaini Abdul Ghani) Martapura Banjar Kalimantan Selatan dan Haul Solo (Al Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi (muallif kitab Maulid Simtudurror), Al Habib Alwi bin Ali al Habsyi dan Al Habib Anis bin Alwi al Habsyi). Jamaah yang ingin hadir dalam majelis tersebut datang dari berbagai daerah, tidak hanya dari penjuru Indonesia bahkan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunei, dan Thailand juga turut hadir dalam majelis ini.

Setidaknya ada beberapa hal yang membuat mereka merindukan Haul Akbar Kedinding. Pertama, berharap berkah syafaat Rasulullah SAW melalui majelis Haul Sulthonul Auliya Sayyidina Syeikh Abdul Qadir al Jailani, Syeikh Utsman Al Ishaqy dan Syeikh Ahmad Asrori Al Ishaqy. Kedua, merindukan lantunan merdu pembacaan manaqib Sulthonul Auliya Syeikh Abdul Qadir al Jailani oleh santri Al Fitrah dan memandang dekorasi panggung yang menggambarkan riyadil jinan. Ketiga, bisa bertemu dengan ribuan orang dari berbagai penjuru dengan busana yang sama yaitu putih-putih. Keempat, merindukan persaudaraan dalam satu talam (makanan yang diletakan pada sebuah wadah besar). Isi talam sendiri berupa nasi, lauk pauk sederhana, serta beberapa potong buah semangka. Biasanya saat talaman para jamaah akan makan bersama tanpa membedakan dari mana asal, suku, warna kulit dan bahasanya. Semua tumpah ruah dalam hidangan penuh kesederhanaan itu. Kelima, bertemunya anak-anak muda dalam wadah Copler Community, yaitu sebuah wadah anak muda yang dulunya merupakan geng orong-orong (anak jalanan, anak malam) lalu berubah menjadi pecinta majelis dzikir. Copler Community ini digagas oleh Gus Nurul Yaqin atau Gus Nico yang tak lain merupakan salah satu putra KH Ahmad Asrori.

Selain beberapa hal yang telah disebutkan tersebut mengapa al Khidmah juga turut dirindukan? jawabanya sederhana karena al Khidmah merupakan peninggalan langsung dari beliau KH Ahmad Asrori. Akan tetapi sejarah berdirinya al Khidmah tidak sesederhana apa yang dibayangkan. Proses perjalanannya begitu panjang, mungkin kita hanya melihatnya sudah besar seperti sekarang ini. Maka dari itu jamaah semua merasa dititipi peninggalan itu untuk selalu menjaganya. Salah satu pesan beliau yang membekas sampai hari ini ialah menginginkan agar al Khidmah ini menjadi "Oase Dunia", sebuah majelis dzikir yang dapat terus hidup dalam pusaran gersangnya zaman. Harapan besar itulah yang membuat rindu jamaah untuk bersatu dalam mewujudkannya. Hingga saat ini tidak kurang dari ratusan majelis dari mulai tingkat desa sampai bertaraf nasional telah diselenggarakan. Hal itu merupakan upaya agar cita-cita beliau dapat terwujud.

Walaupun sampai hari ini kerinduan akan perkumpulan majelis al Khidmah belum tercapai setidaknya teknologi mampu menyeka rindu itu walau hanya sejenak. Terutama dalam akun YouTube untung saja masih banyak menyimpan foto dan video kenangan majelis al Khidmah yang juga masih dihadiri oleh KH Ahmad Asrori. Mungkin saat inilah jamaah diminta bersabar dan menahan diri sekaligus berpikir bahwa kecintaan kepada beliau harus berbanding lurus dengan kecintaan kepada sesama manusia. Saat ini justru dengan berkerumun dapat menyebarkan virus berbahaya maka berdiam diri di rumah salah satu aktivitas untuk membantu mengurangi virus tersebut.

Semoga saja menjelang ramadhan nanti wabah Corona segera pergi dan para jamaah akan segera terobati kerinduanya. Mereka pasti akan berbondong-bondong menghadiri majelis tersebut tanpa diminta. Walaupun beliau KH Ahmad Asrori telah berpulang 10 tahun yang lalu tapi wajah sejuk, petuah lembut dan ajaranya selalu meresap ke sanubari. Seolah-olah lamanya waktu tak melunturkan hati jamaah untuk selalu ingin berkumpul dalam majelis yang didirikan beliau. Kharisma beliau memang masih terus hidup di taman hati para pecintanya. al Fatihah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde