Langsung ke konten utama

Cerita Puasa Pertama


Woks

Mungkin kita ingat-ingat lupa kapan pertama kali orang tua memerintahkan untuk berpuasa. Rasanya berbagai pengalaman setiap orang akan nampak berbeda ada anak yang pertama belajar puasa bedukan (setengah hari) lalu mereka berbuka dan meneruskan lagi hingga magrib tiba. Ada juga yang pura-pura kuat di depan orang tuanya akan tetapi di belakang layar mereka berbuka. Atau ada juga yang lupa beneran atau skenario agar lupa bahwa mereka telah makan banyak padahal sedang puasa. Dalihnya sederhana yaitu "kelupaan kan tidak apa-apa di ma'fu", katanya. Semua itu tinggal dipilih mungkin pengalaman itu salah satunya pernah anda alami.

Seingat saya saat puasa dulu orang tua hanya mengiming-imingi beberapa uang atau dalam bahasa mereka ada hadiah bagi kamu yang mau belajar puasa. Alhamdulillah saat kecil saya langsung belajar puasa penuh. Hingga satu bulan penuh saya paripurna orang tua hanya memberi uang jajan 10 rupiah tentu nominal yang besar bagi anak kecil seusia saya pada saat itu. Jika dibanding dengan anak orang kaya tentu hadiah puasa dengan nominal 10 ribu tidak ada artinya, tapi seiring berjalanya waktu saya paham dan sadar bahwa orang tua saya bukan konglomerat. Dan saya pun memahami semua ini lebih dari cukup. Sebenarnya saya sedang dididik bahwa puasa bukan soal berapa hadiahnya tapi soal memberikan ibadah terbaik yang nantinya dinilai langsung oleh Allah swt. Sampai lulus SD saya masih berpuasa full tapi sejak saat itu hadiah sudah tidak ada.

Saat kuliah saya menemukan bahwa yang diajarkan orang tua ternyata seperti teori dari BF Skinner tentang Operant Conditioning nya yaitu sebuah teori untuk membiasakan dengan penggunaan reward sebagai pemancingnya atau stimulus yang menghasilkan respon. Setelah sekian lama terbiasa maka reward tersebut dihilangkan, karena sudah terbiasa tanpa reward pun aktivitas itu tetap berjalan. Seiring berjalanya waktu orang dalam beragama akan mengerti bagaimana seharusnya menentukan sikap. Kematangan beragama memang terlahir sesuai dengan perjalanan masing-masing individu. Sebab setiap individu akan melewati proses yang berbeda.

Puasa pertama biasanya akan menjadi cerminan kedepanya. Jika ritual puasa tidak dibiasakan sejak dini maka tak aneh jika nanti sudah dewasa puasa hanya sebagai ritual yang membebani. Orang-orang tidak akan berpuasa sepenuh hati akan tetapi jika puasa sudah dibiasakan sejak dini nisyaca orang akan rela melakukan nya sekalipun harus menahan lapar dan dahaga. Tentu motivasi lain yang terbesar adalah mengharap keridhoanNya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde