Langsung ke konten utama

Tranformasi Obrog

               (Sumber gambar inteenet)

Woks

Saya mendapat cerita tentang obrog dari tradisi lisan yang berkembang di masyarakat, untuk benar atau tidaknya bisa didiskusikan lebih lanjut (debatebel). Dulu obrog adalah tradisi yang diwariskan sejak zaman para wali khususnya daerah pantura yaitu di masa Sunan Gunung Jati. Terutama di daerah Cirebon dan sekitarnya obrog digunakan sebagai media membangunkan sahur warga kampung sekitar, di Banyuwangi dikenal dengan musik Patrol. Kegiatanya biasa disebut ngobrog dengan penambahan imbuhan (ng) yang berarti akan dilakukan.

Dulu ngobrog dilakukan di malam hari terutama di waktu sahur tiba, kira-kira kisaran jam 02:00 dinihari hingga menjelang shubuh atau pas waktu imsak. Orang-orang yang ngobrog akan keliling kampung dengan menggunakan alat seadanya seperti gendang kulit, kecrek dan beberapa buah kenong atau gong. Ada juga dengan alat musik dari bambu seperti calung, angklung atau kentongan ala pos ronda. Menurut orang tua obrog berasal dari suara alat musik yang dipakai seperti kendang, karena dulu digunakan malam hari biasanya keadaan kulit agak kendor atau mlekpek, brok obrog. Untuk hal ini tentu masih perlu data akurat dan perlu diverifikasi kebenarannya. Waktu berkeliling selain musik ditabuh untuk membangunkan warga ada juga obrog atau berokan yang fungsinya untuk menari menghibur. Obrog atau berokan ialah sebutan untuk orang yang memakai topeng. Singkatnya ketika semua kegiatan ngobrog selesai keesokan harinya tepatnya di pagi harinya para punggawa obrog itu akan mengetuk dari pintu ke pintu guna mendapat beras atau uang yang diperuntukan buat sangu berbuka atau lebaran. Tentu tidak setiap orang yang empunya rumah memberi paling hanya beberapa saja sesuai dengan kemampuan.

Masa sekarang aktivitas ngobrog telah bertransformasi entah sejak kapan hal itu bisa terjadi. Dulu saat saya masih duduk di bangku SD kegiatan ngobrog begitu masif bahkan setiap menit orang yang ngobrog berasal dari berbagai daerah bisa dijumpai. Tentu tujuanya adalah meminta-minta uang/beras ke setiap warga karena mereka telah menghibur dengan topeng obrog itu. Saat ini ngobrog dilakukan di siang hari dengan variasi obrog atau berokan yang banyak macamnya seperti obrog delu (gede hulu), obrog buto, obrog kedok menyon (jawa: thethek melek), obrog kijing, pandawa lima, sintren, topeng losari, dan banyak lagi lainya. Iringan musiknya pun semakin beragam mulai dari yang tradisional sampai musik modern dengan penambahan organ, drum, guitar hingga seperangkan sound system.

Secara filosofis yang saya ketahui dari obrog adalah nilai-nilai yang menggambarkan hawa nafsu yang harus dikekang. Hal itu tergambar dari berokan atau kedok (topeng) yang dikenakan semua berlatar menyeramkan seperti obrog delu dan buto ijo. Topeng-topeng tersebut jelmaan dari nafsu yang dihadapi manusia terutama saat puasa. Jika dalam bahasa anak-anak cara melihat nafsu yaitu dengan dites galak-galak atau mengiming-imingi dengan uang dan rokok. Jika mereka mengejar karena menginginkan rokok atau uang tadi berarti angkara murka masih menguasai dirinya. Satu lagi topeng yang menarik untuk dikupas yaitu kedok menyon atau orang Jawa menyebutnya thethek melek. Dalam fragmen tari jaranan pegon atau kepang atau pada pagelaran reog biasanya topeng ini akan muncul sebagai penghibur. Sebenarnya secara makna ia menghibur sekaligus menakut-nakuti penonton, tujuanya agar penonton tidak memasuki arena pagelaran sebab jaranan atau reog nya akan masuk. Makna lainya yaitu mereka sebenarnya sedang mengelabui manusia agar terjerumus dalam nafsu yang salah. Satu lagi yang tak boleh dilupakan, jika melihat ada obrog dengan macamnya seperti kijing (kerang kali), burung atau juga ada ikan itu berarti menggambarkan wilayah pesisir tempo dulu yang kaya akan keanekaragaman hayati.

Sungguh ironi kian hari kegiatan ngobrog semakin jauh dari rel awal. Kini kegiatan ini hanya sekedar mencari pundi-pundi rupiah sedangkan ibadah puasa yang wajib menjadi nomor sekian. Mayoritas punggawa ngobrog saat ini banyak yang tidak puasa, karena perjalanan jauh ngobrog bukan sebagai media menjalankan ibadah melainkan bermakna lain. Sehingga kadangkala beberapa orang menganggap bahwa tradisi ini justru bertransformasi menjadi sebuah tontonan tak syarat makna. Betapa tidak saat anak-anak tahu dan orang tua paham bahwa ngobrog justru pada akhirnya hanya akan mengajarkan untuk bermental pengemis. Kita diajari meminta-minta sedangkan ritual puasa seperti tiada arti. Semoga saja ke depan ada inovasi bahwa tradisi bisa terus lestari seiring dengan inovasi namun tetapi kaidah harus sesuai dengan akidah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde