Langsung ke konten utama

Lemantun, Puasa dan Kehilangan


Woks

Tidak terasa kita selalu dibuat berlalu oleh sang waktu. Kini saatnya kita menyambut kembali bulan yang agung, bulan segala macam kebaikan turun. Ramadhan sebentar lagi, begitulah satu lyrik lagu yang selalu kita dengar saat bulan penuh maghfirah ini hadir. Walau saat ini kita masih berjuang melawan Covid-19. Tentu dengan adanya wabah ini rasa ramadhan begitu terasa berbeda, agak hambar bahkan tak jauh berbeda dengan bulan lainya. Walau demikian saat-saat pulang kampung atau saat berkumpul bersama keluarga merupakan momen yang tak bisa dilupakan.

Momentum itulah yang seringkali selalu kita rindukan walau suasana yang mungkin kini tampak berbeda. Perbedaan itulah bisa kita simak lewat tayangan film. Salah satu film pendek yang dapat mengingatkan kita akan hal itu ialah film lemantun. Film ini ialah besutan dari sutradara Raphael Wregas Bhanuteja yaitu sebuah film tugas dari Institut Kesenian Jakarta pada tahun 2014. Walau film ini hanya sekedar tugas akan tetapi film ini telah menyabet beberapa penghargaan seperti film pendek terbaik XXI short film festival 2015, film pendek terbaik Apresiasi film 2015, dan film pendek terbaik Piala Maya 2015. 

Film ini bercerita tentang seorang ibu yang membagikan warisan kepada ke 5 anaknya. Warisan tersebut bukan berupa tanah, uang, atau surat-surat berharga. Warisan itu adalah lemari peninggalan kakek dan bapak mereka ketika masih hidup. Masing-masing anak mendapat lemari sesuai dengan nomor undian yang didapatkannya. Mereka adalah Eko, Dwi, Tri, Yuni dan Anto.

Saat semua telah dibagi dan masing-masing mendapat satu sang ibu segera memerintahkan agar mereka segera membawa lemari itu ke rumah masing-masing. Singkat cerita keempat anaknya itu segera membawa lemari itu dengan kendaraan pribadi masing-masing. Anak pertama dengan motor roda tiga, anak kedua dengan mobil gerobak, anak ke empat dengan mobil biasa dan anak kelima dengan mobil Box. Hanya anak ketigalah yang belum mengangkut lemarinya. Sebab ia bingung mau ke mana lemari itu ia bawa. Rumah belum punya, penghasilan hanya sebagai pedagang bensin dan belum berkeluarga juga.

Anak ketiga inilah yang belum memiliki apa-apa. Ia juga tidak seperti kakak dan adiknya yang mengenyam pendidikan tinggi. Di keluarga itu ia memang anak yang berbeda, penampilannya sederhana, tidak sekolah dan tentunya terlihat udik. Akan tetapi kebaikanya tidak diragukan lagi. Hal itu terbukti ketika memperlakukan kakak dan adiknya. Ia layani seperti halnya menerima tamu agung, bahkan ibunya sendiri lebih condong padanya. Mungkin juga di balik mengapa dia tidak berpendidikan serta belum menikah tak lain karena selalu ingin dekat dengan ibunya.

Saat lemari sudah dibawa perasaan miris begitu mengguncang hati nurani kita. Betapa tidak, satu dari lemari yang mereka bawa semua tidak ada yang dirawat, ada yang hanya menjadi pajangan di belakang rumah, di pojok rumah, bahkan dijajakan di pinggir jalan untuk dijual. Jika ibunya tau akan hal itu mungkin beliau akan menangis. Singkat cerita saat anak ketiga kebingungan sang ibu berkata "sudahlah nak, kamu di sini saja membantu ibu. Ibu mu ini sudah tua, siapa lagi yang akan menemani ibu selain kamu. Tidak mungkin kakak adikmu ke sini, mereka sudah sukses dengan usahanya masing-masing". Akhirnya sang anak ketiga itu menuruti kemauan ibunya. Sesaat ia pandangi lemari itu. Ia merasa seperti teringat saat bapaknya masih hidup dulu, ia masuk dan tertidur di dalam lemari kecil itu. Lemari yang ternyata sejak dulu hingga kini masih menampung lekuk tubuhnya yang kecil dan kurus. Ah nyaman sekali rasanya hidup di sini, andai bapak masih hidup pasti beliau senang melihat anak-anaknya telah sukses, terkecuali dirinya.

Suatu hari saat sang ibu berada di kamar mandi, beliau menitipkan sayur masakanya kepada sang anak ketiga itu. Tiba-tiba dari kamar mandi terdengar suara seperti seorang yang terjatuh dan itu memang ibu. Akhirnya anak ketiga itulah yang merawat ibu hingga beliau digendongnya dengan keadaan apapun. Ibu adalah segalanya bagi dirinya. Hingga akhirnya lemari sang anak ketiga itu menjadi tempat untuk menjual bensin di depan rumah. Tempat dari lemari itu membuat bensin-bensin dalam botol menjadi tertata rapi dan tahan dari panas dan hujan.

Akhir dari cerita tersebut tentu mengingatkan kita terutama saat momen puasa dan lebaran tiba. Betapa momen itulah yang sejak dulu kita masih mengingatnya, apalagi salah seorang keluarga yang kita cintai telah tiada tentu hal itu menjadi memori kehilangan yang menyayat hati. Momen puasa seperti ini apalagi yang dinanti selain berkumpulnya semua keluarga. Sebenarnya film lemantun ini memberi pengertian bahwa lemari adalah rahim tempat di mana ibu menaruh anak-anaknya dulu. Di sanalah anak-anak selalu merasa nyaman. Realitasnya lemari adalah tidak hanya tempat tapi ia mengajarkan kepedulian di mana seharusnya kamu menaruh sesuatu. Seperti halnya sebuah pesan bijak, jangan sampai anak lupa akan induknya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde