Langsung ke konten utama

Takjil dan Kemanusiaan


Woks

Sudah barang tentu setiap tahun selama bulan puasa kita akan disuguhi satu sajian menu khas ramadhan yaitu takjil. Menu ini dirasa sangat wajib untuk kita ketengahkan sebagai sajian utama berbuka sebelum menyantap makanan berat. Takjil tidak hanya sekedar topik tapi ia seperti mendarah daging melekat khususnya bagi masyarakat yang berpuasa.

Entah sejak kapan istilah takjil dikenal dalam tradisi masyarakat, yang jelas takjil bisa diperoleh dengan tiga cara pertama, cari bahan-bahan dan membuat sendiri. Kedua, membeli di kedai atau warung yang menyediakan takjil, dan ketiga tentu gratis biasanya dibagikan di pinggir jalan atau masjid-masjid sekitar. Nomer tiga inilah salah satu alasan mengapa ramadhan bulan penuh keberkahan. Ternyata masih banyak masyarakat kita yang rela menyisihkan sebagaian rezekinya untuk berbagi takjil.

Takjil atau makanan pembuka saat berbuka tak lain merujuk pada ajaran yang disunnahkan oleh Nabi SAW yaitu berbukalah dengan yang manis-manis. Dulu mungkin ada buah kurma dan anggur, tapi saat ini manis bukan soal rasa tapi yang banyak varianya dalam jenis makanan maupun minuman. Yang sangat khas dari ramadhan tentu kolak, bubur sumsum, bubur kacang ijo, segala macam es seperti es kelapa, es campur, es timun suri, serta panganan lain yang mudah dijumpai di pinggir jalan atau buat sendiri di rumah.

Kehadiran takjil yang sederhana itu tentu tidak sesederhana maknanya. Terutama bagi mereka yang tak mampu membelinya, takjil adalah makanan mewah. Salah satunya bukan karena rasa atau kuantitas nya, melainkan karena ikut merasakan suasana ramadhan yang penuh kebaikan. Hal itulah yang menjadikan takjil sebagai pelajaran hidup untuk berbagi rasa, berbagi bahagia walau sedikit dan sederhana. Sebab kebaikan bukan dilihat dari banyaknya, tapi dari keikhlasan pemberinya. 

Di masa pandemi seperti saat ini tentu memberi takjil kepada tetangga yang membutuhkan lebih baik karena dapat meringankan beban mereka. Apalagi sampai menjamin kebutuhan mereka hingga beberapa hari tentu hal itu menjadi amal bagi si pemberi. Krisis ekonomi sangat mungkin lebih terasa bagi mereka yang membutuhkan. Sehingga bala bantuan dari mana-mana merupakan upaya orang-orang untuk mewujudkan kemanusiaan nya. Bisa jadi ramadhan ini adalah ladang tempat kita menanam amal sebagai habituasi di hari-hari berikutnya.

Kondisi seperti saat ini rasanya sudah tentu bahwa takjil bisa menjadi alat memanusiakan manusia. Walaupun bantuan itu belum membantu sepenuhnya, setidaknya kita berupaya untuk meringankan beban mereka. Saya jadi ingat bahwa makan lebih baik yaitu dengan anak yatim atau tetangga yang membutuhkan sebab dalam Fathul ghaib Syeikh Abdul Qadir al Jaelani berkata bahwa "makanan yang masuk ke dalam perut yang kelaparan sama halnya dengan seribu cahaya kebaikan". Tentu sulit dibayangkan bahwa dalam perut kelaparan di sana ada lembah gelap gulita jika rasa itu seketika diisi dengan adanya makanan, maka makanan itu ibarat cahaya penerangnya. Dalam bahasa lain Rumi mengatakan bahwa "seburuk-buruk musik adalah suara sendok/piring sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar". Suara sendok/piring yang berpadu berarti seseorang yang kenyang untuk diri sendiri sedangkan orang lain luput dari perhatiannya. Hal-hal semacam inilah salah satu hal yang harus terus diperhatikan oleh kita yang secara ekonomi mampu. Maka tak salah jika pesan Sunan Gunung Jati atau Syeikh Syarif Hidayatullah salah satunya "titip faqir miskin". Sekarang sudah saatnya takjil untuk kemanusiaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde