Langsung ke konten utama

Sahur On the Road


Woks

Dulu saat pertama kali belajar puasa anak-anak usia sekitar 5-10an merasakan hal yang sama yaitu suka berbuka tapi tak suka sahur. Yang paling punya banyak pengalaman soal ini tentu orang tua bagaimana mereka setengah mati membangunkan anaknya untuk sahur. Sudah bangun tidur lagi, ditarik tubuhnya ambruk lagi. Sudah berjalan belum cuci muka lalu duduk di kursi ternyata tidur lagi. Mungkin begitulah sekelumit kisahnya. Tapi tak mengapa semua adalah pelajaran untuk melatih, mendidik agar mereka tahu bahwa kesunahan sahur merupakan ibadah yang harus dibiasakan sejak dini sebab esok akan berpuasa. Begitupun dengan puasa bedukan (puasa setengah hari) bagi anak-anak merupakan sarana untuk latihannya.

Bicara tentang sahur tentu kita tiap tahun melewati waktu ini. Di mana sunnah Nabi menganjurkan untuk menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur. Sahur sendiri merupakan ajaran Nabi agar seseorang benar-benar siap dalam beraktivitas walau keadaan sedang berpuasa. Artinya tidak ada alasan untuk bermalas-malasan karena sedang berpuasa. Kita tahu bahwa setiap waktu sahur merupakan waktu yang sangat enak untuk tidur, waktu sedang nyenyak-nyenyaknya. Sehingga waktu ini sangat sulit untuk diganggu apalagi masih pengantin baru bahwa alarm sebesar beduk pun rasanya tak berarti. Untuk menemani waktu sahur biasanya berjamuran acara di TV maupun radio. Belum lagi ditambah orang yang membangunkan sahur dengan musik patrol dan obrog masih juga kita jumpai. Mungkin sahur di desa masih begitu asyik dan terasa aroma hangatnya.

Kita mengenal istilah sahur on the road yaitu sahur dari tempat ke tempat. Sahur metode ini adalah sarana berbagi kepada sesama untuk dapat sahur bersama. Biasanya sahur metode ini dilakukan oleh sekelompok aktivis sosial. Atas dasar kepedulianlah sahur on the road dilaksanakan. Selain itu sahur ini juga bisa menjalin keakraban dan saling mempererat persatuan. Tidak jarang memang sahur on the road dilakukan bersama dengan berbagai macam kalangan bahkan dengan lintas agama. Tentu hal itu adalah bagain dari inovasi dialog lintas iman walau berbeda tapi kita sama-sama sebagai insan (ukhuwah insaniyah).

Kini sahur on the road mungkin akan nampak berbeda atau bahkan bisa ditiadakan karena alasan keamanan apalagi selain memutus mata rantai Covid-19 yang tidak boleh adanya kerumunan. Sahur ini mungkin tinggal berupa dialognya saja dengan pemanfaatan media. Untuk santapan makanannya mungkin dilakukan secara mandiri. Akan tetapi tidak menutupi kemungkinan walau hanya seperti itu kita masih tetap bisa berdonasi melalui rekening peduli yang telah tersedia. Gunanya bisa untuk meringankan beban mereka yang terdampak Covid-19 dengan status yang lebih memprihatinkan. Mari bersahur semoga iman kemanusiaan kita terus terasah untuk terus membangun kebaikan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde