Langsung ke konten utama

Catatan Haul Ngunut 2022




Woks

Alhamdulillah tahun ini saya masih diberi kesempatan oleh Allah untuk hadir kesekian kalinya di Haul Ngunut. Tapi kali ini saya tergolong telat datang karena sejak pagi mentari terlalu cepat dan saya yang lambat. Dengan sepeda othel saya pun melaju secara perlahan namun pasti walaupun keringat bercucuran. Keberangkatan saya kali ini seperti biasa diniati untuk hurmat dan ngalap berkah shohibul haul Mbah Yai Ali Shodiq Umman dan Ibu Nyai Siti Fatimatuzzahra.

Peringatan haul kali ini yaitu Mbah Yai Ali ke XXIV dan Ibu Nyai Siti Fatimah ke XXIII. Masa haul yang tidak terpaut jauh dan selalu kita artikan sebagai simbol cinta keduanya. Mbah Yai Ali dan Bu Nyai meninggalkan 6 putra dan 3 putri yang semuanya kini telah meneruskan estafet kepemimpinan di pondok. Mengingat kedua beliau tentu mengingat perjuangan dan derita. Akan tetapi sejak dulu demikian rumusnya perjuangan dan penderitaan melahirkannya kejayaan. Bahkan menurut KH. Nasihuddin Dahri (santri awal Mbah Yai Ali) dulu yang sekarang Asrama Arofah adalah Kantor Kesekretariatan PKI. Jadi kebayang bagaimana perjuangan beliau dalam mendirikan pondok Ngunut tersebut.

Sejak pagi saya sangat bergairah untuk menghadiri haul Ngunut tersebut. Pasalnya saya yang kecil ini ingin menjadi bagian yang besar itu. Ketika sampai di sana lantunan qasidah-qasidah mengalun merdu. Sedangkan para santri kecil sudah memadati Masjid Baitul Latif. Tak lupa pula sesampainya di sana saya langsung menziarahi pusara beliau dengan putra pertamanya Ibu Nyai Umi Maesarah dan KH. Darori Mukmin. Setelah itu saya baru merapat ke tengah acara yang awalnya sangat sepi kecuali jamaah perempuan.

Waktu semakin siang ternyata jamaah sudah membludak bahkan ibu-ibu dan bapak-bapak bercampur baur dalam satu tempat. Pembacaan maulid Simtudurror bersama Ustadz Zamam dan majelis masyayikh mengawali kegiatan haul. Setelah itu seremonial yang terdiri dari pembukaan, pembacaan ayat suci, pembacaan hasil bahtsul masail, sambutan keluarga, tahlil dan mauidhoh hasanah.

Mauidhoh hasanah kali ini disampaikan oleh beliau Al Habib Abdurrahman bin Muhammad Al Atthos dari Solo yang mungkin bertindak menggantikan Al Habib Sholeh Al Jufri karena berhalangan hadir. Dalam tausiyahnya Habib Abdurrahman mengajak jamaah untuk bershalawat terlebih dahulu setelah itu barulah ta'lim.




Dalam tausiyah beliau mengatakan bahwa menghadiri majelis haul berarti kita sedang diajak untuk bertafakur alias ingat mati. Dan sebaik-baik amal adalah mengingat mati. Maka dari itu kehadiran jamaah di majelis orang shaleh adalah dalam rangka mengambil manfaat. Hal itu juga sebagai sarana kita mentadabiri nikmat dari Allah SWT.

Salah satu nikmat yang sering dilupakan adalah tentang pahala 27 derajat dalam shalat berjamaah. Rerata orang menyepelekan shalat berjamaah karena alasan 27 itu hanya angka. Padahal penilaian 27 bukan hitungan dunia melainkan akhirat. Jika kita tahu satu spai dua nilainya seperti 70 tahun perjalanan akhirat dan bagaimana hingga ke 27 tersebut. Lalu beliau juga cerita salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yaitu Syaban.

Syaban adalah seorang sahabat yang dikenang sebagai sosok yang tak putus dalam jamaah. Padahal jarak rumah beliau hingga masjid nabi kurang lebih 2 jam perjalanan. Akan tetapi singkat cerita Syaban meninggal dan tidak terlihat jamaah. Nabi Muhammad SAW pun mengunjungi rumahnya seraya bertanya pada istri Syaban. Lalu istri Syaban berkisah dan intinya berkaitan dengan pahala menuju masjid alias shalat jamaah.

Dalam kisah tersebut Syaban mengatakan kurang jauh. Artinya jika ia mengerti hahwa pahala orang menuju masjid sangatlah besar maka sejak awal rumahnya yang jauh sekalian. Setelah itu kurang baru. Artinya jika ia tahu bahwa memberikan pakaian pada orang yang membutuhkan (kedinginan) adalah sangat besar maka sejak awal saja ia berikan pakaian yang baru. Dan terakhir kurang banyak. Artinya jika ia tahu bahwa memberi sepotong roti buat mereka yang lapar pahalanya luar biasa maka sejak awal saja ia berikan semua bekalnya untuk mereka. Demikianlah tausih beliau yang intinya orang cerdas itu akan mengitung diri sendiri, ingat mati dan beramal kebaikan.




Ketika acara usai saya langsung berhamburan bersama ribuan jamaah tersebut. Saya ingat tahun lalu kotak amal mendapatkan sekitar 112 juta dan saat ini totalnya mencapai 125 juta. Jadi haul Ngunut ini memang luar biasa. Saya pun membayang besok thawaf tidak jauh berbeda dan saling berhimpitan karena banyaknya jamaah. Setelah itu saya langsung bergegas pulang dan mampir di Masjid Pulosari untuk shalat dzuhur. Saya sudah terlanjur PD bahwa saya adalah jamaah paling jauh yang hadir dengan bersepeda ternyata ada yang lebih jauh lagi yaitu seorang Mbah Sepuh dari Moyoketen dekat Gor Lembu Peteng. Selain keberkahan Mbah Yai Ali saya juga alhamdulilah bisa bertemu Mbah Yai Kholiq PP Mbah Dul.

the woks institute l rumah peradaban 28/11/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde